Mengaduk Harapan dalam Semangkuk Soto: Kisah Perjuangan Warung Soto Pak Kadi
Setiap pagi, aroma kuah soto yang harum perlahan-lahan menyebar dari dapur kecil di sudut sebuah warung sederhana dari tenda di pinggir jalan. Tepatnya berada di depan Gereja Wirobrjan Yogyakarta Di balik kepulan uap panas, tangan-tangan yang tak lagi muda itu tetap lincah menyiapkan sajian yang sejak 2009 menjadi nadi penghidupan satu keluarga. Dialah Parsiati, perempuan tangguh yang bersama suaminya, Kadi, menjaga hidup mereka tetap berjalan dari usaha kecil bernama Warung Soto Sederhana Pak Kadi.
Lebih dari sekadar tempat makan, warung ini menyimpan cerita tentang keteguhan, harapan, dan usaha untuk bertahan di tengah himpitan zaman yang makin sulit ditebak.
Pada masa-masa awal, warung ini begitu ramai. Dalam sehari, soto yang mereka sajikan bisa ludes hingga 100 mangkuk. Suara pelanggan yang bercanda, hiruk-pikuk sendok dan mangkuk, menjadi musik harian yang akrab bagi pasangan ini. Tapi itu dulu.
Sekarang, untuk menjual 20 mangkuk saja, Parsiati harus berjuang keras. "sekarang mau dapat 20 magkok aja berat mas" ujarnya.
Ia sadar betul bahwa bukan hanya dirinya yang mengalami masa sulit ini. "Mungkin nggak cuma di warung ini. Sepertinya UMKM sekarang juga merasakan hal yang sama," katanya.
Saat pandemi COVID-19 melanda, dunia seakan berhenti. Banyak usaha tutup, orang-orang mengurangi aktivitas di luar rumah. Tapi bagi Parsiati, berhenti berjualan bukanlah pilihan.
"aku nggak punya apa-apa lagi mas, jadi mau nggak mau ya tetap jualan?" katanya. Ia dan Kadi tetap membuka warung, meski pembeli hanya sesekali mampir. Tak ada layanan pesan antar, tak ada promosi daring. Hanya soto hangat yang disajikan dengan hati, dan doa agar besok lebih baik.
Saat dan setelah covid inilah yang menjadi titik balik dan menurunnya daya beli konsumen, keluh parsiati. Kondisi sulit itu bukan hanya karena sepinya pelanggan, tetapi juga karena harga bahan-bahan yang terus merangkak naik. Ayam, bumbu, bahkan gas elpiji, semuanya melonjak. Namun Parsiati tetap mempertahankan harga jual sejak 2016. "Kalau dinaikkan, nanti orang malah nggak mau beli," ujarnya.
Parsiati menunjukan langsung perbandingan harga yang ada, ia mengatakan kenaikan harga sangat terasa dalam 2 tahunan ini, sambil memegang cabai ia mengatakan " ini mas dulu dua ribu rupiah sekarang tiga ribu, sayur sayuran juga naik"
Kini, mencari keuntungan adalah hal yang nyaris mustahil. "Sekarang mah yang penting mutar aja. Bisa beli bahan lagi besok, bisa buat makan di rumah," ujar Parsiati. Keuntungan tipis. Yang penting warung tetap buka, dapur tetap mengepul.