Waktu begitu cepat berjalan ya? Rasanya kemarin baru berada di bangku MTs, sekarang sudah memikirkan bagaimana kehidupan setelah SMA nanti. Sekolah, teman, dan kenangan. Tiga hal yang bisa menghangatkan memori lama nan bahagia. Aku teringat ketika pertama kali menapakkan kaki di MTs.
Biasanya, para siswa akan memulai pembelajarannya di sekolah dari semester satu. Namun, bagiku tidak. Satu semester harus ku lalui secara daring. Banyak tugas, catatan, latihan, ulangan online yang menyerbu.
Sampai momennya ketika aku masuk semester dua. Daring berganti luring. Aku sangat bersemangat bertemu dengan teman-teman yang selama ini hanya berkomunikasi via WhatsApp.
Tidak hanya itu, ada satu kejadian yang menurutku melekat di memoriku hingga sekarang. Kejadian itu memberikan aku pembelajaran hidup yakni bersabar dan sebaiknya tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan.
Hari itu masih berlaku sistem shift karena masih dalam keadaan Covid-19. Shift tersebut akan dirombak setiap minggunya. Sistem yang awalnya membingungkan tetapi lama-lama jadi terbiasa.
Beberapa minggu aku bersekolah. Sudah mulai terbiasa dengan sistem yang baru. Hari-hari berlalu seperti biasa, aku menunggu ayah sembari duduk di dekat pos satpam. Cukup lama aku melamun sendirian, ayah tetap saja tidak kunjung datang. Dikala aku menunggu saat itu juga awan gelap berangsur-angsur menutupi matahari, perlahan rintik hujan mulai membasahi aspal. Sesekali kepalaku menunduk, berharap mobil ayah melintas, namun nihil.Â
Diriku mulai gelisah, terlintas di dalam pikiranku, inikah saatnya aku pulang sendiri? Naik angkot? Begitulah isi pikiran anak yang belum pernah naik angkot sendirian dan kurang sabaran hehehe. Aku nekat menyeberang jalan dibantu satpam dan langsung menuju angkot yang menunggu penumpang tidak jauh dari sekolah.
Perasaanku benar-benar campur aduk: antara bingung, takut, sekaligus lega karena setidaknya aku bisa pulang. Di dalam angkot aku menerka-nerka, "Apakah ayah benar-benar lupa menjemputku?"
Pikiranku berkecamuk. Suasana saat itu mencekam-karena angkot yang kunaiki melaju dengan sangat perlahan. Rintik-rintik hujan mulai mengembuni kaca angkot.
Lima menit berlalu angkot melaju dari sekolah. Aku melihat ke arah jendela, mataku langsung membidik pada satu mobil warna putih yang tidak asing denganku. Ya, itu mobil ayah! Deg-degan langsung menyerang sekujur tubuh. Tanpa pikir panjang aku spontan berteriak pada sopir, "Pak, sampai sini aja ya, Pak."
Anggukan sopir membuat ku langsung membuka pintu angkot dan turun dari angkot dengan tergesa. Di tengah perjalanan aku terpikir sesuatu aku belum membayar ongkos karena-kalau dipikir-pikir lagi jaraknya memang masih dekat dengan sekolah. Aku lari kecil di bawah gerimis yang semakin menjelma menjadi hujan. Aku menyusul mobil ayah yang semakin dekat ke arah sekolah.
Saat sampai, aku diam-diam mengendap mendekati mobil dengan seragam biru dongker yang sedikit basah. Dengan cepat aku buka pintu mobil, langsung masuk dan melupakan apa yang baru saja terjadi. Aku duduk di samping ayah, pura-pura tenang padahal jantungku berdegup kencang seperti habis lari lima KM.
Kejadian itu menjadi pengalaman yang terus teringat di memoriku sekaligus pengalaman kocak yang pernah aku alami. Dari kejadian pribadiku itu juga aku belajar untuk lebih bersabar lagi ketika menunggu ayah saat menjemput dan tidak mengambil keputusan di saat kepanikan melanda. Hingga tamat MTs, bahkan sampai sekarangpun aku tidak pernah menceritakan kejadian itu pada ayah. Bahwa aku pernah 'kabur' sebentar. Mungkin suatu hari nanti akan aku ceritakan pada keluargaku sambil tertawa bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI