Anak pantai (17)Hujan bulan juni
Sayyid jumianto
Hujan
Semalaman bukan biasa
Sebuah perranda tanpa syarat
Buat gelisah dan kecewa karena malam minggu pupus
Dipantai
Hanya kulihat gelap gulita
Ditengahnya ada kelip lampu
Sonar kapal-kapal besar dan mercusuar yang berkilau
Hujan deras semakin buat gelap
Malam ini semua jadi sepi canda diwarung sebelah mendadak sunyi. "Ada lockdown" isyu yang jadi nyata karena imbas bebasnya hajatan kampung sebelah kemarin. Sepi senyap sesekali sirene terdengar, kakak gelisah bapak terjaga."bukan ambulan to le?"khawatir saudara dekat atau tetangga di jemput karena korona yang laknat itu."dedek, bukan pak, mobil patroli," kata kakak melongok keluar jendela rumah kecil kami.
Gelisah tak terbayangkan hampir limapuluhan orang tetangga desa diciduk karena kena viris ini. Tujuh orang meninggal karena gelar hajatan tanpa indahkan protokol kesehatan.
Sungguh kata bapak virus ini lebih berbahaya daripada cacar, lepra, atau campak kala bapak muda dulu.
"Kahanan saiki amung iso uwal yen iso disiplin lan ora leno" kata bapak pada kami.Â
Wedang jahe buatan simbok menemani hujan sore sampai malam ini. Teras yang dulu terasa sejuk sekarang dingin sementara tetes air hujan membasahi kere dari silatan bambu disamping depan rumah kami.
Keteguhan
Bapak tidak malu jadi buruh lagi walau godaan untuk jadi juragan lagi banyak menyeretnya kemasa lalu. Bapak tidak malu jadi mantan juragan apalagi ketemu mantan anak buahnya tetap senyum diulas bibirnya walau kadang kami kesulitan untuk dapat makan siang karena bapak belum pulang kamo tetap tabah adanya.
Waktu yang membuat teguh hati bapak cobaan. Nelayan pantai ini tetap miskin dan sebagaian terlilit para renternir dan juga pedagang kota yang tentukan harga sekehendak hati mereka.