Mohon tunggu...
Andy Laksmana Sastrahadijaya
Andy Laksmana Sastrahadijaya Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pengamat masalah kemanusiaan dan spiritualitas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Bagian Kedua: Penghayatan Hidup Penuh Peniruan

8 Mei 2013   11:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:55 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh: Andy Laksmana Sastrahadijaya

Menerangkan kebenaran secara sepenuhnya merupakan upaya yang mustahil. Kita tidak dapat menjelaskan atau memberikan kepada orang suatu pengalaman atau penghayatan dengan sepenuhnya. Setiap orang harus menjiwai atau meresapinya sendiri. Yang dapat dijelaskan dengan selengkapnya hanyalah “kebenaran” anggapan dengan berbagai pengalaman dan penghayatan yang ditiru dari orang yang hidup pada masa lampau yang telah dibekukan dalam bentuk Kitab Suci dan berbagai kitab Hadis (yang menurut KBBI merupakan (1) sabda, perbuatan, takrir (ketetapan) Nabi Muhammad saw. yg diriwayatkan atau diceritakan oleh para sahabat untuk menjelaskan dan menentukan hukum Islam; (2) sumber ajaran Islam yg kedua setelah Al-Quran,) serta berbagai kitab suplemen lainnya.

Kebanyakan orang Indonesia, karena keterkondisian dalam hidupnya adalah termasuk orang beriman dengan derajat keimanan yang berbeda-beda, sebagian besar dari mereka menjadi beriman hanya karena ikut-ikutan saja dengan semakin memberatnya kebebanpengaruhan yang mereka alami. Banyak di antara mereka malah sangat jarang atau bahkan tidak pernah mengkaji Kitab Suci agamanya, apalagi kitab-kitab rujukan keagamaan lainnya. Sebagian lagi menjadi beriman karena pengaruh para petinggi agamanya masing-masing tanpa memertanyakannya sama sekali. Sebagian orang beriman telah membaca segala kitab rujukan utama (Kitab Suci dan segala kitab tambahannya), mendengarkan khotbah dan ceramah para otoritas atau petinggi agamanya, dan menuruti perkataan sambil meniru-niru perilaku, sikap, dan perbuatan Nabi; mereka mecoba menemukan apa yang dikatakan oleh orang seiman mengenai “kebenaran” dan “Tuhan” versi perintis utama dan pertama sistem kepercayaan yang diimaninya itu; mereka juga berusaha menghayati kehidupan sehari-hari mereka menurut petunjuk agama dan mengharapkan kebahagiaan surgawi abadi sesuai dengan yang digambarkan dalam Kitab Sucinya, dengan penuh keyakinan dan ketakwaan.

Dengan demikian, baik orang beriman yang telah memelajari semuanya itu maupun orang beriman yang hanya ikut-ikutan dan mengikuti segala petunjuk otoritas agamanya, pada umumnya telah memiliki gambaran dalam daya pikirnya mengenai segala hal yang diajarkan dalam sistem kepercayaannya dan menghayati kehidupannya sehari-hari berdasarkan gambaran itu. Daya pikir orang beriman yang menghayati kenyataan hidup sehari-hari sekarang ini di tempat manapun ia berada, yang dipenuhi dengan berbagai penjelasan dan instruksi yang diberikan oleh seseorang yang hidup berabad-abad yang lalu (apalagi yang tidak diubah sampai titik-komanya sampai tanda serunya sekalian—dengan penegasan dan pembenaran dari para otoritas agamanya masing-masing), jika ia masih sehat dan berfungsi dengan baik, sering mengalami kebingungan ketika terjadi pertentangan antara apa yang diyakininya sebagai “kenyataan” anggapan itu dengan kenyataan sehari-hari yang benar-benar dihadapinya dalam hidup pada saat ini di sini. Sebagian orang beriman sering mengabaikan begitu saja “kenyataan” anggapan dan menerima secara apa adanya dan menjalani hidup ini sesuai dengan kenyataan yang dihadapinya dengan risiko mendapatkan celaan dari teman seiman sebagai orang kurang beriman, orang tidak lulus ujianNya, bahkan orang kafir, dan orang yang terkena bujukan Setan, dsb. Sebaliknya, sebagian orang beriman lainnya tetap secara membabibuta memegang teguh “kenyataan” anggapan dengan mengabaikan kenyataan hidup yang sekarang sedang dihadapinya, meskipun memilih-milih “kebenaran” anggapan yang menguntungkannya saja, dan biasanya mereka ini dipuji oleh teman seiman sealirannya sebagai orang yang teguh imannya, tabah dalam menghadapi cobaan hidup dariNya, dan bahkan sering dielu-elukan sebagai mujahid sejati. Pernah ada seorang beriman berkomentar di lapak seorang Kompasioner kira-kira begini, “Jika sains menemukan sesuatu yang sesuai dengan iman, hal itu dapat dipakai untuk menebalkan iman.” Dan ketika saya iseng-iseng menggodanya karena ingin tahu apa jawabannya dengan pertanyaan, “Jika sebaliknya apa yang ditemukan oleh sains itu kebetulan bertentangan dengan apa yang diimaninya, apakah Anda akan menganjurkan orang beriman agar menipiskan imannya?” Sayangnya, orang beriman itu tidak bersedia menjawab pertanyaan saya ini dengan dalih karena saya hanya ingin tahu saja.

Ketika kita hendak meniru suatu lukisan atau mengikuti suatu perintah, perilaku, dan perbuatan suatu tokoh yang kita idolakan dan idealisasikan, kita tidak akan pernah menghayati pengalaman secara sepenuhnya pada saat ini; kita tidak akan pernah jujur mengenai diri dan tindakan murni kita sendiri; kita akan selalu melindungi diri sendiri dengan sesuatu yang kita anggap sebagai sesuatu yang ideal. Jika kita benar-benar menyelidiki batin kita sendiri, kita akan menyadari bahwa sebagai orang beriman kita tidak menemukan sesuatu yang baru; gagasan baru, sensasi baru, penjelasan baru mengenai kehidupan ini, karena kita telah mencetak kehidupan kita sesuai dengan pola lama yang telah ditetapkan oleh orang lain. Kita tidak menghayati kehidupan sehari-hari kita ini dengan sikap segar, sehingga dengan persepsi kita sendiri, intensitas kita sendiri, kita dapat menemukan kegembiraan dari tindakan alami dan spontan. Kebanyakan dari kita sebagai orang beriman hanyalah mencari penjelasan gambaran mengenai “kebenaran” anggapan yang ditafsirkan oleh orang lain, dengan mengira bahwa seandainya kita dapat menemukan apa yang kita anggap sebagai “kebenaran” itu, entah atas dasar penafsiran orang lain atau penafsiran daya pikir kita sendiri, kita akan dapat menyesuaikan kehidupan kita sesuai dengan apa yang kita anggap sebagai “cahaya abadi” itu.

Di sinilah orang beriman terperangkap dalam penghayatan hidup penuh peniruan, alih-alih menghayati hidup sehari-hari dengan penuh kesegaran, kebaruan, kegembiraan, dan kreativitas. (Bersambung ke Bagian ke-3)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun