Mohon tunggu...
Alomet And Friends
Alomet And Friends Mohon Tunggu... profesional -

Kami adalah perusahaan konsultan manajemen strategi yang berbasis pada proses dan teknologi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Belajar dari Sempati Air dan Lion Air

20 Maret 2012   15:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:42 2031
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13323220332111429610

Oleh : Hendri Teja Dalam pelbagai ceramahnya, satu konsep kunci Porter adalah “jangan bersaing dengan kompetitor dalam dimensi yang sama”. Ketimbang berkompetisi untuk menjadi nomor wahid, Porter menyarankan agar mindset perusahaan diarahkan pada persaingan untuk menjadi yang terunik. Untuk dapat berkelanjutan, bukan persaingan membabi-buta yang harus dilakukan suatu perusahaan. Persaingan head to head ibarat zero sum game. Tak ada remis dan seri. Tak ada kerjasama apalagi sinergi. Yang mencuat hanya posisi kalah-menang. Dan model kompetisi macam ini sungguh sangat berbahaya. Contoh gamblang dari model ini adalah industri penerbangan di tanah air. Beberapa tahun lalu, angkasa nusantara seolah-olah hanya dimiliki Garuda Indonesia Airways (GIA) dan Merpati Air (MA). Miskinnya kompetitor dan pangsa pasar yang relatif terbuka menarik kehadiran Sempati Air (SA). Hanya saja, akibat bersaing para ranah yang sama, kompetisi pun terjadi head to head. Setiap maskapai mengejar pelayanan penerbangan sebagaimana standar pelayanan konvensional. Dalam upaya melawan hegemoni kedua BUMN tersebut, Hasan Sudjono owner SA melakukan manuver service excellent. Marketing digenjot habis-habisan untuk membangun brand yang mencengangkan, dengan memberikan berbagaivalue kepada pelanggannya. Konon SA bahkan sangat berani memberi kompensasi denda diri (berupa voucher) pada setiap keterlambatan yang terjadi. Pantas jika merek SA langsung terangkat. Nama SA sempat membubung setinggi awan. Terobosan yang dilakukan Hasan Sudjono benar-benar berhasil melejitkan awareness SA di kancah industri penerbangan. Keberhasilannya mendongkrak popularitas merek SA dipuji oleh berbagai kalangan. Malangnya manuver over promise tersebut ternyata tidak didukung oleh kemampuan perusahaan. Alih-alih semakin memperkuat kualitas, penerbangan SA malah banyak yang delay. Hingga akhirnya perusahaan terlilit hutang yang mencapai Rp 800 miliar. Kasus SA boleh disebut over promise tetapi under deliver. Dan kasus ini terjadi karena SA mencoba head to head dengan GIA pada dimensi yang sama, yaitu service excellent. Padahal ranah pelayanan adalah ranah kepercayaan. Para pelanggan yang terbuai over promise tetapi mendapatkan “under promise”tentu merasa kecewa. Kasus Lion Air (LA) sebaliknya. Berbeda dengan Simpati Air, LA tidak berperang pada ranah service excellent. Bahkan CEO Lion Air, Rusdi Kirana, dalam banyak wawancaranya menyebut : “LA, tak seperti air line lain yang mengusung slogan, terbang dengan nyaman. Kalau kami pokoknya sederhana. Anda naik pesawat kami, pokoknya akan kami usahakan antarkan berangkat dari kota A ke kota B. Kalau misalkan delay harganya toh dengan kereta api mirip. Kalau naik kereta api 12 jam, delay satu jam apa ruginya.” Jadi yang dikejar LA adalah subtansi dari bisnis penerbangan yaitu mengantarkan selamat sampai tujuan. Konsep itu kemudian dikemas dalam strategi low-cost, yang diciptakan melalui pemaksimalan bisnis proses perusahaan. Selanjutnya LA tidak menyasar seluruh masyarakat, melainkan kalangan menengah ke bawah yang selama ini tidak tersentuh pelayanan GIA dan MA. Semangat ini yang kemudian diabadikan dalam “make people fly”yang menjadi tagline LA. Demi mencapai visi tersebut, LA telah menggunting mitos-mitos industri penerbangan -seperti makanan di pesawat, ruang tunggu mewah, proses penerbangan yang nyaman, dan lain sebagainya). Walhasil, Ketika perdana mengudara, banyak kalangan yang pesimis bahwa LA akan survive di bawah hegemoni GIA dan MA. Namun nyatanya, model bisnis LA malah sukses besar. Bukan sekadar pelopor penerbangan murah di Indonesia, saat ini LA adalah maskapai penerbangan yang paling tumbuh. Ketika GAI masih “berdarah-darah” dan MA sudah diujung tanduk kebangkrutan, LA malah membeli 230 pesawat Boeing senilai US$22,4 miliar. Kabar terakhir, setelah kurang didukung kementerian perhubungan, LA berencana menginvestasikan US$ 10 milyar untuk pembangunan hub pesawat di Malaysia. Dua kasus tersebut menggambarkan betapa berbahayanya berkompetisi, apalagi dengan kompetitor yang telah menjadi market leader, dalam dimensi yang sama. Perbedaannya, jika SA terjebak dalam “a zero sum game” yang berdampak pada “win-lose proposition”, maka LA memilih untuk berdaya saing dalam keunikan dimensi yang disasarnya. Pilihan LA tersebut dapat dikategorikan sebagai diferensiasi. Dalam generic startegy-nya, Porter menyebut bahwa keunggulan bersaing didapatkan melalui keunggulan biaya (cost leadership), diferensiasi dan fokus (Porter, 1985). Melalui diferensiasi tersebut, sebenarnya LA tidak bermaksud “mengambil” pelanggan GIA atau MA. Malahan keunggulan low-cost-nya LA berfokus pada segmen pelanggan yang selama ini sering luput dari perhatian -masyarakat kelas menengah ke bawah. Tawaran menarik dari LA pun lekas dijabah masyarakat yang sekian lama “bermimpi untuk terbang”. GIA dan MA tidak dapat sontak beralih sebab model bisnis kedua BUMN tersebut sudah terlanjur dirancang untuk melayani segmen mainstream atau menengah ke atas. Upaya untuk mengalihkan model bisnis tersebut tidaklah mudah karena perubahan besar-besaran sering menghadapi resistensi. Dan ketika satu persatu maskapai penerbangan murah lainnya bermunculan, LA telah menjadi market leader pada segmentasi low cost ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun