Mohon tunggu...
Al Mujizat
Al Mujizat Mohon Tunggu... Penggiat Sustainability

Mempraktikkan, menulis dan melatih

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Satu Nomor Untuk Semua Darurat

14 Oktober 2025   05:56 Diperbarui: 14 Oktober 2025   05:56 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu malam di pinggiran kota, seorang pengendara motor jatuh setelah menabrak lubang jalan. Kakinya patah, darah mengalir deras. Warga berlarian, mencari nomor darurat. Seseorang menyebut 110, yang lain menekan 119. Telepon berdering, berpindah ke petugas berbeda. Lima belas menit berlalu sebelum ambulans datang.

Di negara lain, satu nomor cukup: 911 di Amerika, 112 di Eropa, 999 di Singapura. Satu panggilan, satu sistem, satu komando. Di Indonesia, sampai hari ini, sistem seperti itu masih menjadi cita-cita. Padahal, setiap detik keterlambatan bisa berarti hilangnya nyawa. Reformasi Polri yang kini kembali bergulir seharusnya tidak hanya berhenti pada penataan etika dan kelembagaan internal, tetapi juga menyentuh hal yang paling mendasar dalam pelayanan publik: bagaimana negara hadir secara cepat dan terkoordinasi ketika warganya berada dalam keadaan genting.

Secara hukum, Indonesia sebenarnya sudah memiliki Nomor Tunggal Panggilan Darurat (NTPD) melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 10 Tahun 2016, yang menetapkan 112 sebagai nomor resmi untuk semua keadaan darurat---kebakaran, kecelakaan, kejahatan, bencana, atau medis. Namun, dalam praktiknya, sistem itu belum benar-benar berjalan secara nasional. Data Kominfo per September 2024 menunjukkan baru 142 dari 514 kabupaten/kota yang memiliki pusat panggilan darurat 112 yang berfungsi. Artinya, masih lebih dari dua pertiga wilayah Indonesia belum terhubung dalam jaringan yang seharusnya menjadi garda terdepan keselamatan warga.

Di banyak daerah, panggilan darurat masih berjalan secara sektoral. Polisi dengan 110, pemadam kebakaran 113, ambulans 118 atau 119, SAR 115, bencana 117, bahkan listrik 129. Setiap nomor memiliki petugas, prosedur, dan komando sendiri. Akibatnya, koordinasi lapangan sering kali terhambat: satu instansi sudah bergerak, yang lain belum tahu. Dalam kejadian kompleks seperti kecelakaan lalu lintas yang juga melibatkan kekerasan atau kebakaran disertai korban luka, fragmentasi sistem ini berisiko fatal.

Masalah layanan darurat di Indonesia bukan sekadar persoalan teknologi, melainkan persoalan tata kelola dan kultur birokrasi. Setiap instansi memiliki domain yang kuat: Polri menguasai ranah keamanan dan kriminalitas, Kementerian Kesehatan bertanggung jawab pada gawat darurat medis melalui jaringan Public Safety Center (PSC) 119, BNPB dan Basarnas menangani bencana dan evakuasi, sementara pemerintah daerah mengoperasikan PSAP 112. Tidak ada satu payung operasional yang mempersatukan mereka semua dalam situasi darurat campuran. Akibatnya, ketika terjadi insiden yang melibatkan berbagai unsur---misalnya kecelakaan lalu lintas yang juga mengandung unsur kriminal atau korban kekerasan---penanganan sering kali terbagi-bagi antara instansi, tanpa koordinasi real time.

Sebagian publik menduga ada tembok resistensi dari Polri untuk bergabung dalam sistem terpadu seperti 112. Namun, hasil penelusuran sejumlah laporan resmi menunjukkan bahwa hambatan utamanya bukanlah penolakan institusional, melainkan ketiadaan mekanisme koordinasi lintas-sektor yang kuat. Kelemahan sistem lebih disebabkan oleh faktor teknis dan struktural: tidak sinkronnya SOP, keterbatasan anggaran PSAP di daerah, rendahnya pelatihan petugas, serta belum adanya komando nasional yang menyatukan semua kanal darurat di bawah satu sistem terpadu.

Negara-negara maju sudah lama memahami bahwa kecepatan dan koordinasi lebih penting daripada sekat birokrasi. Di Amerika Serikat, panggilan 911 terhubung ke sistem Computer-Aided Dispatch (CAD) yang otomatis meneruskan kasus ke instansi terkait---polisi, pemadam, atau medis---tanpa membuat warga menelepon dua kali. Di Uni Eropa, nomor 112 berlaku lintas negara. Warga di Paris, Berlin, atau Roma cukup mengingat satu nomor, sementara sistem di belakangnya disesuaikan dengan instansi lokal. Singapura bahkan menyiapkan dua nomor utama---999 untuk polisi dan 995 untuk ambulans atau pemadam---namun seluruh sistem komunikasi, data lokasi, dan pusat komando berada dalam jaringan terpadu.

Pelajarannya sederhana: satu pintu untuk warga, banyak pintu di belakang layar untuk eksekusi cepat. Pendekatan ini memungkinkan triase otomatis, pelacakan lokasi melalui teknologi Advanced Mobile Location (AML), dan pengiriman tim dengan kompetensi campuran dalam hitungan menit.

Indonesia memerlukan langkah serupa, tetapi dengan model yang sesuai dengan karakter geografis dan kelembagaan kita sendiri. Sebuah Tim Gerak Cepat Terpadu (TGCT) dapat menjadi tulang punggung sistem darurat nasional. Unit ini berfungsi lintas-instansi, mampu menangani situasi kompleks yang melibatkan unsur medis, kriminal, dan keselamatan publik secara bersamaan.

Tim semacam ini bisa beranggotakan tenaga medis (dokter, paramedis), petugas keamanan, petugas pemadam, psikolog lapangan, dan operator komunikasi yang dilatih bersama. Mereka memiliki kemampuan pertolongan pertama, evakuasi, pengamanan area, dan pendokumentasian insiden. Dengan komposisi seperti ini, ketika terjadi kasus campuran---misalnya kekerasan dalam rumah tangga dengan korban luka, atau kecelakaan lalu lintas disertai perampasan---tidak perlu menunggu koordinasi antarinstansi; tim dapat langsung bertindak di bawah protokol tunggal.

Pusat panggilan 112 berperan sebagai dispatcher nasional. Operator melakukan triase berdasarkan kategori: medis, kriminal, kebakaran, atau kombinasi. Jika kategori ganda, TGCT terdekat segera dikerahkan. Sistem seperti ini telah diuji di beberapa kota dunia dan terbukti menekan waktu tanggap menjadi di bawah sepuluh menit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun