SANTAI SAJA GAGAL MEMENUHI JANJI KAMPANYE 2014
Patut diakui banyak sekali keberhasilan Jokowi sejauh ini. Pembangunan Irigasi, wilayah perbatasan, dan.. yang paling super adalah pembangunan jalan tol walaupun banyak menyisahkan masalah.Â
Walaupun demikian, banyak janji Jokowi yang mengecewakan pendukung nya. Jokowi terkesan santai saja atas kegagalan termaksud tetapi di sisi lain tentunya membuat banyak orang termasuk penulis sendiri meragukan untuk memilih kebali Jokowi pada Pilpres 2019 ini. Perhatikan beberapa kegagalan pemenuhan janji kampanye termaksud sebagai berikut.Â
Gagal Memperbaiki Kebocoran APBN
Baru-baru ini viral pernyataan Prabowo bahwa kebocoran APBN setiap tahun nya sebesar Rp500T. Wapres JK hanya mengatakan sebesar Rp5T. Ekonom kondang UI Faisal Basri mengatakan sekitar Rp250T. Hal yang sama juga ditulis oleh ekonom senior Bank Danamon, Anton Hendranata, yang memberikan analisis simple tetapi plausible dan mengestimasi angka kebocoran APBN sekitar Rp264T untuk kasus tahun 2019.
Kesimpulannya kebocoran APBN (mungkin) masih terus berlanjut hingga akhir masa jabatan Jokowi di tahun 2019 ini. Juga, mungkin masih banyak yang ingat pernyataan Almarhum Prof Soemitro Djojokusumo yang juga adalah ayah kandung Capres Prabowo dan juga Mantan besan Presiden Soeharto bahwa kebocoran APBN sekitar 40%.
Kesimpulan yang lebih penting lagi adalah Jokowi gagal memenuhi janji kampanye 2014 dalam bidang pemberantasan korupsi di Indonesia utamanya dalam mengeradikasi  korupsi APBN.Â
Gagal Menelingkung Mafia Impor
Kasus Mafia impor terutama impor pangan terus bergulir. Kasus yang paling viral adalah kasus sapi impor Ketua Partai PKS. Ini rasanya terjadi di Era Presiden SBY. Di Era Presiden Jokowi kasus yang serupa tetap terjadi. Misalnya, kasus  kuota impor gula yang menjerat Hakim Konstitusi Patrialis Akbar.Â
Memang OTT mafia impor agak mereda dalam kasus kuota impor ini. Â Walaupun demikian, publik umumnya masih merasakan bahwa mafia impor terutama impor beras sedikit pun tidak mereda.
Mafia impor masih terus bergentayangan dengan bebas nya. Kegalauan publik ini termasuk penulis sendiri didasarkan pada masih sering nya percekcokan antara pejabat tinggi negara yang mengurusi impor pangan. Pertimbangan lain terkait dengan masih diberlakukan nya skim hambatan bukan tarif.Â