Berbagai tren telah terbentuk dari aktivitas di media sosial, yang secara bersamaan tanpa disadari memberikan tekanan kepada penggunanya untuk selalu tampil sempurna sesuai dengan sesuatu hal yang sedang trending tersebut. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan tekanan psikologis yang akut dan terstruktur, yang membuat individu timbul perasaan cemas akan tertinggal, iri, hilangnya rasa percaya diri, dan tak jarang memandang rendah diri mereka sendiri. Jika terus berlarut pada perasaan ini dapat berujung menjadi depresi.
Ketahuilah bahwa menjaga kesehatan mental penting bagi semua orang. Â Filsafat berperan penting dalam masalah ini karena dapat membantu orang memahami, mengatasi, dan menjaga kesehatan mental melalui refleksi mendalam dan pengembangan cara berpikir yang lebih bijak, khususnya dengan membangun pola pikir positif sepanjang hidup. Para Intelektual terkemuka, dari zaman filsafat kuno hingga terapi modern, menegaskan bahwa cara kita berpikir memengaruhi bagaimana kita menjalani hidup.
Para intelektual terkemuka di dunia tersebut meliputi Marcus Aurelius (121--180 M), Epictetus (50--135 M), Friedrich Nietzsche (1844--1900), William James (1842--1910), dan Albert Ellis (1913--2007). Siapakah mereka? Bagaimana pemikiran mereka terkait dengan cara mengelola pikiran agar individu bisa hidup lebih bijak, kuat dan bahagia?. Pemahaman ini  menjadi inti pembahasan dalam artikel ini.
1. Marcus Aurelius (121--180 M) - Filsuf Stoik Romawi
Marcus Aurelius adalah Kaisar Romawi kuno yang dikenal sebagai filsuf. Dalam pemerintahannya, dia selalu menganut stoikisme. Filosofi ini bukan hanya sekedar sebuah teori baginya, namun juga sebagai pedoman praktis dalam kehidupan dan pemerintahan. Aurelius meyakini bahwa penilaian kita terhadap peristiwa menyebabkan penderitaan, bukan peristiwa itu sendiri. Kebahagiaan sejati (eudaimonia) dapat dicapai dengan melatih pikiran untuk tetap tenang, rasional, dan positif. Tulisan Aurelius yang terkenal berbunyi "You have power over your mind -- not outside events. Realize this, and you will find strength." Yang artinya kamu memiliki kekuasaan atas pikiranmu, bukan atas peristiwa di luar dirimu. Jika disederhanakan lagi, kita tidak mempunyai kontrol penuh terhadap sesuatu yang terjadi di luar diri kita (misal cuaca, masalah yang menimpa kita, orang lain), kita mempunyai kontrol sepenuhnya dalam bagaimana kita berpikir dan memberikan respon pada hal-hal tersebut.
Relevansi dalam Berpikir Positif
Bukankah kita sering mendengar berpikir positif adalah ketika kita selalu mengupayakan untuk terus merasa bahagia, memaksakan diri melihat segala hal dari berbagai sisi secara menyenangkan, pada situasi suka maupun duka?. Namun, dalam ajaran Aurelius, memandang berpikir positif adalah ketika kita bisa menerima segala bentuk kenyataan dengan hati yang tenang, lalu memilih untuk meresponnya secara rasional dan konstruktif. Dengan berpikir positif, kita tidak akan hanya berpaku pada masalah atau kenyataan yang ada, melainkan mampu membentuk tekad untuk menghadapinya dengan kemantapan dan ketenangan hati.
Contoh dalam kehidupan sehari-hari, yaitu saat sedang berkendara di jalan, tiba-tiba ada pengendara lain yang menyalip kemudian mengatakan sumpah serapah padahal saya tidak merasa melakukan kesalahan apapun, ditambah dengan gestur dan nada bicara yang tidak sopan. Namun saya memilih untuk tetap tenang dan menghindari membalas kemarahan daripada terpancing emosi. Saya pikir orang itu mungkin terburu-buru, sedang tertekan, atau memiliki masalah pribadi. Saya ingat prinsip Aurelius dan dapat tetap aman di jalan dengan menahan diri dan tetap sabar. Saya merasa lebih tenang setelah kejadian itu karena saya berhasil mengendalikan diri saya sendiri daripada membiarkan emosi mengambil alih.Â