Sering kali anak SD dianggap terlalu muda untuk didengar, padahal ucapan mereka menyimpan arti yang dalam. Kalimat sederhana seperti "Aku takut salah" atau "PR terlalu banyak" sesungguhnya merupakan tanda akan kebutuhan mereka. Jika isyarat kecil itu diabaikan, anak bisa merasa diremehkan, bahkan menurunkan rasa percaya dirinya.
Mendengar anak bukan berarti selalu menuruti keinginannya, melainkan memberi kesempatan agar mereka merasa dihargai. Anak yang terbiasa didengarkan cenderung tumbuh lebih berani, terbuka, dan penuh percaya diri. Sebaliknya, ketika sering diabaikan, anak mudah memendam perasaan hingga merasa sendirian meskipun berada di tengah banyak orang.
Di sekolah, guru memiliki peran penting untuk membuka ruang percakapan. Pertanyaan sederhana seperti "Menurutmu bagaimana cerita tadi?" atau "Bagian mana yang paling kamu suka?" dapat membuat anak merasa diperhatikan. Dengan begitu, guru tidak hanya menyampaikan pelajaran, tetapi juga menjalin ikatan emosional dengan murid.
Sementara itu di rumah, orang tua bisa memulai dari hal kecil: mendengarkan cerita tentang teman, permainan, atau keluhan ringan tentang tugas sekolah. Waktu singkat yang diisi dengan perhatian penuh seringkali jauh lebih bermakna dibandingkan banyak nasihat yang tidak disertai kesediaan untuk mendengar.
Ketika suara anak diberi tempat, mereka belajar untuk menghargai dirinya sendiri sekaligus orang lain. Kepercayaan diri, empati, serta keberanian untuk mengungkapkan pendapat akan tumbuh secara alami. Semua itu menjadi bekal berharga untuk menapaki masa depan.
Akhirnya, pendidikan tidak hanya soal memberi ilmu, tetapi juga memberi telinga. Suara kecil anak hari ini adalah fondasi besar bagi kehidupan mereka di kemudian hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI