Sejarah merupakan sebuah masa yang tidak akan pernah dilupakan dan harus selalu diingat sampai kapanpun. Namun, pada tahun 2025, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan memberitahukan tentang adanya proyek penulisan ulang sejarah nasional yang melibatkan 113 akademisi dari berbagai disiplin ilmu dan bertujuan menyusun sebelas jilid buku sejarah yang mencakup periode prasejarah hingga masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mereka berpendapat bahwa tujuan utamanya adalah untuk menghapus bias kolonial, memperkuat identitas nasional, dan menyelaraskan narasi sejarah dengan kebutuhan generasi muda.
Tetapi pada kenyataanya justru penulisan ulang sejarah ini menuai begitu banyak kritik dari berbagai pihak. Aktivis HAM seperti Usman Hamid menilai bahwa proyek ini berpotensi menjadi alat manipulasi sejarah oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Ia menyoroti kemungkinan penghilangan narasi penting seperti pelanggaran HAM berat dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk tragedi pemerkosaan massal 1998. Banyak orang yang menganggap bawah penulisan ulang sejarah ini dianggap sebagai suatu proses untuk menghapus jejak kejahatan pasa masa itu dan mengubur sejarah yang sebenar benarnya sesuai dengan keinginah kekuasaan dan kepentingan politiknya.
Fenomena ini banyak memunculkan banyak pertanyaan, seperti apakah sejarah yang ditulis ulang ini mencerminkan kebenaran kolektif, atau justru menjadi instrumen kekuasaan untuk membentuk persepsi publik dan menguntungkan mereka?
Dalam perspektif sosiologi, sejarah bukanlah cermin objektif masa lalu, tetapi merupakan hasil konstruksi sosial yang dibentuk melalui institusi seperti negara, pendidikan, dan media. Berger dan Luckmann (1966) menyatakan bahwa realitas sosial dibentuk melalui proses institusionalisasi dan legitimasi. Dalam konteks ini, negara memiliki peran yang sangat utama dalam menentukan sejarah yang dianggap sah, sekaligus menyingkirkan narasi alternatif yang tidak sejalan dengan kepentingan politik.
Penulisan ulang sejarah oleh negara, meskipun melibatkan akademisi tetapi tetap berada dalam kerangka institusional tentang kepentingan ideologis. Hal ini sejalan dengan kritik Michel-Rolph Trouillot (1995) bahwa sejarah sebetulnya sering kali dibuat oleh kekuasaan yang menentukan siapa yang boleh berbicara dan bagaimana peristiwa direkam. Dalam kerangka pemikiran Michel Foucault, pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan.
Foucault menekankan bahwa siapa yang memiliki kuasa atas produksi pengetahuan, memiliki kuasa atas konstruksi kebenaran. Dalam konteks sejarah, proyek penulisan ulang nasional oleh negara Indonesia menunjukkan bahwa sejarah bukan sekadar catatan peristiwa masa lalu, tetapi merupakan arena perebutan wacana (discourse) dan dominasi terhadap mereka yang berkuasa terhadap negara.
Penulisan ulang sejarah dengan melibatkan akademisi dalam kerangka proyek negara tentu menunjukkan adanya intensi politis yang tidak bisa diabaikan. Walau hadir dengan argumen untuk menghapus bias kolonial, upaya ini tetap berada dalam jaringan kekuasaan yang dapat dengan mudah menggeser fokus narasi dari pemberdayaan menuju pengendalian. Risiko terbesarnya adalah “pembungkaman simbolik” terhadap kelompok-kelompok yang telah lama terpinggirkan dalam narasi resmi megara, seperti korban-korban kekerasan politik, masyarakat adat dan kelompok-kelompok minoritas lainnya.
Maurice Halbwachs (1992) memperkenalkan konsep memori kolektif sebagai ingatan sosial yang dibentuk dan dipelihara oleh kelompok sosial tertentu. Dalam konteks Indonesia, memori kolektif tentang peristiwa penting seperti G30S 1965, Reformasi 1998, dan konflik di Papua sangat dipengaruhi oleh narasi yang disebarluaskan melalui kurikulum pendidikan dan media negara.
Jika penulisan ulang sejarah mengabaikan peristiwa traumatis seperti kekerasan terhadap perempuan atau pelanggaran HAM, maka masyarakat akan kehilangan kesempatan untuk mengingat dan merefleksikan sejarah dengan utuh, bukan sekadar dianggap sebagai penghilangan fakta secara paksa tetapi juga dianggap sebagai pengaburan identitas kolektif yang berdampak pada proses rekonsiliasi nasional.
Selain itu, halini juga berpengaruh terhadap Kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara yang sangat ditentukan oleh cara negara menghadapi dan mengakui masa lalunya. Jika penulisan ulang sejarah dilakukan dengan cara yang eksklusif dan cenderung menutupi jejak kelam masa lalu, maka hal ini berisiko menurunkan legitimasi politik sekaligus memperlebar jarak antara negara dan warganya. Alih-alih memperkuat identitas nasional, narasi sejarah yang manipulatif justru dapat memicu disonansi kolektif dan memperkuat rasa ketidakadilan sosial.
Sebagai contoh, penghapusan atau pengaburan tragedi Reformasi 1998 atau kekerasan di Timor Leste dan Papua dapat membentuk generasi muda yang "buta sejarah" dan tidak memiliki empati terhadap penderitaan masa lalu. Ini bisa menjadi akar dari hilangnya kesadaran historis yang sehat, serta memperlemah solidaritas sosial antar kelompok.
Dalam dunia pendidikan, sejarah bukan hanya mata pelajaran, melainkan medium pembentukan kesadaran historis, identitas kolektif, dan kemampuan berpikir kritis. Namun, apabila kurikulum sejarah didasarkan pada narasi tunggal yang disusun secara tersembunyi dan tanpa partisipasi publik, maka pendidikan justru akan menjadi alat indoktrinasi.
Paulo Freire pada tahun 1970 menekankan melalui pendekatan “pedagogi kritis” bahwa pentingnya pendidikan sebagai proses dialogis yang membebaskan. Dalam hal ini, guru sejarah perlu diberdayakan sebagai fasilitator pemikiran kritis yang mampu mengajak para siswa untuk mempertanyakan narasi dominan, menganalisis sumber sejarah secara kritis, dan memahami bahwa sejarah adalah ruang negosiasi makna.
Kurikulum sejarah yang demokratis harus membuka ruang bagi narasi alternatif, termasuk kesaksian korban, sejarah lokal, dan kontribusi kelompok marjinal seperti perempuan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas. Hal ini penting untuk membangun kesadaran historis yang inklusif dan transformatif.
Pendidikan sejarah juga harus mengintegrasikan pendekatan interdisipliner, seperti penggunaan metode etnografi, sejarah lisan, dan studi visual, untuk memperkaya pemahaman siswa tentang kompleksitas masa lalu. Selain itu, penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam penyusunan materi sejarah agar narasi yang dihasilkan tidak bersifat elitis dan sentralistik.
Fenomena penulisan ulang sejarah Indonesia pada tahun 2025 ini mencerminkan dinamika antara kekuasaan, identitas, dan politik ingatan. Dalam perspektif sosiologi, sejarah bukanlah entitas netral, melainkan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh relasi kuasa dan kepentingan ideologis.
Penulisan ulang sejarah indonesia tahun 2025, tanpa disadari telah menjadi gambaran tentang medan pertempuran makna antara negara dan masyarakat. Pertaruhan utamanya bukan semata pada buku sejarah sebagai produk, tetapi pada proses dan struktur kekuasaan yang melingkupinya. Jika sejarah ditulis untuk membebaskan, maka prosesnya harus bersifat inklusif, demokratis, dan partisipatif. Namun jika sejarah ditulis untuk mengukuhkan dominasi kekuasaan, maka hasilnya adalah mitologi politis yang penuh represi.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses penulisan ulang sejarah dilakukan secara transparan, partisipatif, dan inklusif, dengan melibatkan berbagai aktor sosial, termasuk korban, akademisi independen, dan masyarakat sipil. Pendidikan sejarah pun harus diarahkan untuk membangun kesadaran kritis dan empati historis, bukan sekadar menghafal fakta-fakta yang telah diseleksi secara politis. Dengan hal ini, sejarah dapat berfungsi sebagai ruang refleksi kolektif yang memungkinkan masyarakat untuk memahami masa lalu secara utuh, menyembuhkan luka sosial, dan membangun masa depan yang lebih demokratis, adil, dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI