Kurikulum sejarah yang demokratis harus membuka ruang bagi narasi alternatif, termasuk kesaksian korban, sejarah lokal, dan kontribusi kelompok marjinal seperti perempuan, masyarakat adat, dan kelompok minoritas. Hal ini penting untuk membangun kesadaran historis yang inklusif dan transformatif.
Pendidikan sejarah juga harus mengintegrasikan pendekatan interdisipliner, seperti penggunaan metode etnografi, sejarah lisan, dan studi visual, untuk memperkaya pemahaman siswa tentang kompleksitas masa lalu. Selain itu, penting untuk melibatkan komunitas lokal dalam penyusunan materi sejarah agar narasi yang dihasilkan tidak bersifat elitis dan sentralistik.
Fenomena penulisan ulang sejarah Indonesia pada tahun 2025 ini mencerminkan dinamika antara kekuasaan, identitas, dan politik ingatan. Dalam perspektif sosiologi, sejarah bukanlah entitas netral, melainkan konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh relasi kuasa dan kepentingan ideologis.
Penulisan ulang sejarah indonesia tahun 2025, tanpa disadari telah menjadi gambaran tentang medan pertempuran makna antara negara dan masyarakat. Pertaruhan utamanya bukan semata pada buku sejarah sebagai produk, tetapi pada proses dan struktur kekuasaan yang melingkupinya. Jika sejarah ditulis untuk membebaskan, maka prosesnya harus bersifat inklusif, demokratis, dan partisipatif. Namun jika sejarah ditulis untuk mengukuhkan dominasi kekuasaan, maka hasilnya adalah mitologi politis yang penuh represi.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa proses penulisan ulang sejarah dilakukan secara transparan, partisipatif, dan inklusif, dengan melibatkan berbagai aktor sosial, termasuk korban, akademisi independen, dan masyarakat sipil. Pendidikan sejarah pun harus diarahkan untuk membangun kesadaran kritis dan empati historis, bukan sekadar menghafal fakta-fakta yang telah diseleksi secara politis. Dengan hal ini, sejarah dapat berfungsi sebagai ruang refleksi kolektif yang memungkinkan masyarakat untuk memahami masa lalu secara utuh, menyembuhkan luka sosial, dan membangun masa depan yang lebih demokratis, adil, dan inklusif.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI