Mohon tunggu...
Allessandra Tobing
Allessandra Tobing Mohon Tunggu... -

A student who enjoys the quietness of life yet always far from it

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Mengeja Ulang Mimpi Anies di Pilkada DKI

3 Februari 2017   23:23 Diperbarui: 3 Februari 2017   23:36 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Nearly all men can stand adversity, but if you want to test a man’s character give him power.” Kata-kata pamungkas ini diutarakan oleh Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat dalam salah satu momen orasinya. Terbukti, semua orang akan memperlihatkan warna dan bentuk aslinya ketika memegang kekuasaan. Tidak hanya saat mereka mempunyai kekuasaan, dalam usaha mengejarnya saja pun mereka seperti itu.

Barbara Goodwin mengatakan, “Force is the ability to cause someone to do something against her will,”. Kekuasaan adalah kemampuan untuk menyebabkan seseorang melakukan sesuatu melawan kehendaknya. Bila seseorang mampu melakukan hal tersebut, maka orang itu mempunyai kuasa terhadap orang lain.

Intinya, kekuasaan adalah kemampuan untuk mengeluarkan sanksi. Bila seseorang tidak mengikuti perintah sang penguasa, maka ia berkewajiban menerima hukuman. Perintah dan sanksi itulah yang menggambarkan kendali seorang penguasa. Kendali itulah yang menjadi keuntungan menjadi pengampu kekuasaan.

Demi keuntungan itulah, banyak orang mengejar kekuasaan hingga menghalalkan segala cara. Salah satu contohnya adalah Prabowo Subianto dengan smear campaign yang dilakukannya pada Pilpres 2014 lalu. Ia, dalam misinya mencapai kekuasaan, memanfaatkan ketidaktahuan publik tentang kehidupan  Jokowi. Tampaknya, demikian juga yang dilakukan oleh Anies.

Pertama kali penulis melihat Anies Baswedan adalah ketika Ia menjadi moderator acara debat presiden perdana tahun 2009. Dengan penuh karisma, Ia memimpin jalannya debat. Ia muncul sebagai orang yang pintar dan terpelajar dengan segala prestasinya.

Bertahun-tahun lewat dan nama Anies Baswedan kembali terkenal dengan posisinya sebagai rektor muda Universitas Paramadina. Saat itu, bagi penulis Ia merupakan sosok yang patut dijadikan contoh.

Sejarah pendidikannya mencatat bahwa Ia adalah lulusan S1 UGM, setelah itu menempuh Master of Public Policy di University of Maryland dan Phd. di Northern Illinois University. Sambil berdecak kagum, terpilihnya seorang Anies Baswedan sebagai rektor muda Paramadina merupakan kewajaran.

Saat terpilihnya Presiden Joko Widodo, penulis yang saat itu masih duduk di bangku sekolah, berdiskusi hebat dengan rekan sekelas. Tak lain mendiskusikan rasa kagum akan seorang Anies Baswedan yang terpilih menjadi menteri pendidikan. “Akhirnya, menteri yang bisa diharapkan,” ujar penulis ketika itu.

Pada saat itu, Anies Baswedan sangat populer di mata masyarakat.  Citranya sebagai sosok yang terpelajar dan adil menjadi idola di kalangan pelajar. Namanya begitu harum dan dihormati saat pembina upacara bendera membacakan suratnya yang penuh pepatah di hari-hari penting.

Oleh karena itu, berita dipecatnya seorang Anies menjadi berita menggemparkan. Apakah Jokowi sakit? Gimana ceritanya Anies kok bisa dipecat? Bukankah Anies adalah calon terbaik sebagai menteri pendidikan? Bukankah Anies pendukung paling setia Jokowi? Pertanyaan itu simpang siur di setiap pembicaraan mengenai pemerintah.

Tetapi, sekarang penulis mendapatkan pencerahan mengenai pemecatan Anies yang terkesan semena-mena. Saat ini, Anies Baswedan merupakan Cagub DKI yang dipasangkan dengan Sandiaga Uno. Tanggal 25 Januari 2017 kemarin Ia diundang ke acara Mata Najwa. Di acara itu Ia mengutarakan pandangannya terhadap masalah SARA yang dihadapi Indonesia dewasa ini. Bukan kepalang terkejutnya penulis saat Ia dengan santai mengatakan bahwa non-muslim tidak pantas menjadi calon pemimpin. Ucapan yang meluncur mulus dari mulut Anies itu benar-benar  berbeda dengan citra yang selama ini terpatri di kepala banyak pengagumnya.

Seharusnya memang penulis sudah tidak terkejut lagi. Bisa dilihat dari partai pendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno. Imam Ali berkata, “If you want to identify someone’s character, examine the friends he sits with.”. Saat ini, salah satu pendukung Anies adalah PKS.

Partai Keadilan Sejahtera ini memang sedang hangat dengan inkonsistensinya. Pada pemilihan walikota Solo lalu, dengan segala hadits Ia memperbolehkan pemimpin non-muslim. Namun saat ini PKS berada di garis keras mengharamkan pemimpin non-muslim.

Melihat sejarah PKS, wajar saja Anies Baswedan berkata seperti itu. Atas jasa PKS yang menaunginya, jelas saja bila Anies harus memberikan balasan. Ia menjual karakternya yang pernah mengatakan ‘pemimpin tak harus pandang agama’, menjadi ‘pemimpin non-muslim itu haram’.

Selanjutnya, masih dalam perjalanan Anies mendapatkan massa, Ia harus duduk bersimpuh meminta restu FPI. Foto-foto yang tersebar di media sosial menunjukkan seorang Anies yang sedang duduk bersimpuh disebelah Rizieq Shihab. Rizieq, ketua FPI, yang notabene menolak pemimpin non-muslim.

Pandangan intoleran seperti ini sangat tidak cocok di Indonesia. Negara ini dibangun atas kokohnya rasa persatuan dalam keberagaman. Jiwa dan raga yang diberikan kepada bangsa ini tidak pernah mendiskriminasi antara ras maupun agama. Contohlah pahlawan nasional Thomas Matulessy yang berperang melawan Belanda, penggubah lagu kebangsaan W.R. Supratman, Jendral Gatot Subroto dan masih banyak lagi. Mereka hanya tahu bahwa mereka adalah bangsa Indonesia tanpa embel-embel dan bangsa Indonesia harus merdeka tanpa syarat.

Jadi, jika ada yang berpandangan intorelan, sudah seharusnya tidak berada di Indonesia. Rakyat Indonesia adalah rakyat yang mencintai kedamaian. Perbedaan ras maupun agama sejatinya bukanlah masalah. Tetapi, perbedaan itu digali menjadi jurang yang penuh rasa curiga dan kebencian. Parahnya, kebencian ini dikobarkan oleh tokoh-tokoh masyarakat, seperti halnya Anies Baswedan.

Kemudian, aksinya yang nyinyir dan hanya bisa berteori di debat Pilgub DKI benar-benar memenggal habis karakternya. Seorang Anies yang lulus dengan master MPP dan Phd. di universitas terkenal luar negeri, seharusnya lebih bisa menanggapi pertanyaan demi pertanyaan dengan baik. Seharusnya, Ia bisa berpikiran ke depan dan menata baik-baik programnya. Atau Anies memang tak punya program dan hanya ingin kekuasaannya saja?

Dicurigai, karakter Anies hanyalah desain semata, sesuai dengan keinginan dari Anies untuk berkuasa di DKI. Memimpin ibu kota negara merupakan kekuasaan yang luar biasa. Dilihat dari APBD Jakarta 2017, anggaran mencapai 70,19 triliun rupiah. Jumlah yang sangat fantastis dan terbesar dari semua provinsi. Siapa yang tidak mau mengomandankan anggaran sebesar itu?

Anies pun mengelupasi fasadnya. Wataknya sudah keluar sekarang, setelah diiming-imingi kekuasaan pula. Good job untuk Pakde Jokowi yang telah menyelamatkan ribuan anak sekolah non-muslim yang punya cita-cita menjadi pemimpin di Indonesia. Negara ini benar-benar tidak perlu manusia yang intoleran. Anies menempatkan dirinya pada titik nadir intelektualitas dan kebangsaan sebagai salah satu tokoh nasional, yang seharusnya menjadi pendukung dari keberagaman di Indonesia. Karena itulah Indonesia.

Lalu, pertanyaan-pertanyaan tersisa untuk Anies Baswedan, how low can you go? Kenapa engkau begitu cepat berganti kulit? Apakah sebuah idealisme harus dinisbikan oleh tawaran kekuasaan yang tidak toleran?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun