"Tempat yang bakalan bikin kamu balik lagi yaa sungai. Tempat yang bikin kamu lupa waktu sama apapun, sekalipun itu deadline dari Pak Wahyu."
Benar sekali dan kamu masih ingat itu? Benar saja, ini cukup membuatku berpikir bahwa kamu masih menyayangiku. Aku menggelengkan kepala dan menyadarkan diri sendiri bahwa itu tidak mungkin terjadi. Kamu sudah mantap dengan pilihan satu bulan lalu.
"Suara air sungai sore ini lebih indah dari suaraku ketika nyanyi di kamar mandi. Gemericik air sungai sore-sore gini nggak kalah cantik dari sunset lima bulan lalu di pantai yang pasirnya agak hitam."
Kucelupkan tangan kananku ke dalam air sungai dan merasakan dinginnya. Menyegarkan, tidak kalah dengan es teh manis Bu Pini ketika makan siang bersama kamu empat bulan lalu.
"Kamu tau kenapa suara aliran sungai begitu menggemaskan?"
"Menggemaskan? Kayak aku gitu?"
Kamu tertawa kecil kemudian mengaca di tenangnya air sungai.
"Karena sudah takdir Tuhan."
Aku menghela napas. Selalu begitu jawaban kamu, tidak berubah.
"Aku bergurau, nggak usah dibawa serius begitu kan bukan tes CPNS. Kenapa aliran sungai suaranya menggemaskan? Karena dia bertemu dengan bebatuan. Coba nggak ada bebatuan, suaranya gitu-gitu aja nggak ada perubahan."
Aku memperhatikan apa yang kamu katakan. Iya, entah kenapa aku selalu mengiyakan semua perkataanmu. Seperti, aku ini tidak ada perspektif sendiri.