Mohon tunggu...
Allan Maullana
Allan Maullana Mohon Tunggu... Teknisi -

Bukan siapa-siapa. Bukan apa-apa. Hanya remah-remah peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tembok Besar yang Mengotak-kotakkan

5 Januari 2019   21:38 Diperbarui: 5 Januari 2019   22:00 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Ilustrasi: Dokumen pribadi)

Dulu sewaktu tahunnya pilgub DKI. Anak saya yang pertama, sedikit-sedikit nyalahin Ahok. BBM naik nyalahin Ahok. Jakarta banjir nyalahin Ahok. Sampe makan nasi padang harganya naik seribu-dua ribu perak nyalahain Ahok.

Adiknya sama persis. Baca berita yang udah jelas itu hoak nyalahin Anies. Jalanan macet nyalahin Anies. Kali item nyalahin Anies. Banyak sampah nyalahain Anies.

Pernah di satu malam, entah apa yang mereka perdebatkan. Saya nggak ngerti. Mereka saling mengkafir-kafirkan satu sama lain. Medengar kata kafir, saya marah. Marah sekali. Sampai akhirnya saya bentak: 'Di rumah ini nggak boleh ada yang mengkafir-kafirkan.' Sebagai orang tua hati saya sedih, Dik. Hancur."

Laki-laki itu terdiam. Tampak sedikit emosi. Lalu menghisap rokoknya. Ia lanjut mengisahkan perseteruan demi perseteruan antara dua kubu yang terjadi pada orang-orang di sekitarnya. Terjadi pada teman-teman kerja, teman-teman mengaji, teman-teman ronda, dan tetangga sebelah kanan-kirinya.

"Kedua anak saya nggak pernah ngobrol. Bersuara kalo ada yang diperlukan. Misalnya nanya konci motor atau gembok pager rumah. Kaya ada duri di dalam daging. Baru beberapa bulan saya lega, Dik. Nggak ada perdebatan lagi di rumah. Eh, sekarang mulai lagi. Sekarang antara Prabowo dan Jokowi. Seperti ada tembok besar yang mengotak-kotakkan kita."

Laki-laki itu terdiam. Sejenak menarik nafas, menghisap rokoknya. Saya melihat jam tangan saya, ternyata sudah menunjukan pukul 08.53. Pintu masuk sudah dibuka. Saya segera pamit. Laki-laki itu tersenyum sambil mengangguk, "Mari. Dik."

Dalam langkah kaki memasuki gedung otak saya bekerja. Memproses kisah itu menjadi semacam otokirik pada diri sendiri. Kemudian, saya teringat pada sebuah 'Sajak Balsem untuk Gus Mus'.

***

(Sajak Balsem untuk Gus Mus - Joko Pinurbo, 2016)

Akhir-akhir ini banyak
orang gila baru berkeliaran, Gus.
Orang-orang yang hidupnya
terlalu kenceng dan serius.
Seperti bocah tua yang fakir cinta.

Saban hari giat sembahyang.
Habis sembahyang terus mencaci.
Habis mencaci sembahyang lagi.
Habis sembahyang ngajak kelahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun