Mohon tunggu...
aliyah ardhana
aliyah ardhana Mohon Tunggu... Mahasiswi S2 Fakultas Psikologi Universitas Airlangga

Seorang mahasiswi Psikologi Universitas Airlangga yang senang belajar tentang manusia tentang bagaimana pikiran, emosi, dan pengalaman membentuk siapa kita hari ini. Di sela kuliah dan riset, saya suka menulis dan terlibat dalam kegiatan yang mendukung kesejahteraan mental dan memandang kehidupan sosial. Bagi saya, memahami orang lain dimulai dari keberanian untuk memahami diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

More Than Text: Tren 'Talk to Who' dan Kesejahteraan Mental Gen Z

4 Oktober 2025   19:07 Diperbarui: 4 Oktober 2025   19:07 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Scroll tiktok, melakukan swipe video demi video berjam-jam.. tapi tetap merasa sendiri? Bagi kebanyakan Gen Z, ini adalah sebuah realita kehidupan sehari-hari. Meski kebanyakan Gen Z merasa mampu melakukan semua kegiatannya sendiri, namun mereka juga ingin merasakan untuk didengar oleh seseorang yang spesial di hidupnya. Inilah yang melatarbelakangi tren "Talk to Who", yang ramai di media sosial.

Tren ini muncul dari sebuah kebutuhan yang sederhana tapi krusial: mempunyai seseorang untuk menceritakan kehidupan sehari-hari mereka. Di Tiktok, banyak video dengan hastag #TalkToWho menampilkan Gen Z berbagi pengalaman, atau sekedar curhat tentang kehidupan mereka yang memiliki pengalaman unik, lucu, sedih maupun senang. Tren bukan sekedar konten hiburan, tapi cerminan nyata dari kebutuhan mental dan emosional Gen Z dalam menghadapi dunia ini. Video-video ini sering diakhiri dengan caption "Sama siapa ya?" atau "Hug myself", yang langsung membuat banyak penonton merasakan nasib yang sama.

Fenomena ini berkaitan erat dengan kesejahteraan mental Gen Z. Menurut beberapa artikel yang penulis baca, generasi ini lebih bisa terbuka dan membicarakan kesehatan mental dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka lebih paham bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Namun, di sisi lain, mereka juga menghadapi tingkat stress yang cukup tinggi. Tekanan dari media sosial, tuntutan akademik atau tuntutan karier, dan perbandingan dengan teman sebaya, hingga rasa takut "ketinggalan zaman" membuat kebanyakan dari Gen Z merasa kesepian. Tren 'Talk to Who' muncul sebagai coping mechanism: cara untuk mencari dukungan sosial nyata, bukan sekedar sebuah tren.

Kalau dari sisi psikologi, fenomena ini bisa dijelaskan lewat hirarki kebutuhan Maslow. Disini Maslow bilang manusia punya beberapa level kebutuhan, mulai dari fisik, aman, sosial, sampai aktualisasi diri. Gen Z yang merasa kesepian sebenarnya butuh rasa diterima dan memiliki koneksi sosial. Curhat ke seseorang yang dapat dipercaya membantu memenuhi kebutuhan psikologis ini. Hasilnya, mental jadi lebih sehat dan lebih siap dalam menghadapi huru-hara kehidupan ini.

Selain itu, teori tentang dukungan sosial juga menjelaskan kenapa tren ini penting. Teori ini bilang dukungan sosial bisa menurunkan stress, meningkatkan rasa aman, dan bikin orang lebih kuat menghadapi cobaan dalam hidup. Meskipun branding Gen Z manusia super tapi mereka juga butuh loh seseorang untuk diajak berbicara, bukan sekedar teman virtual yang cuma scroll feed kita, tapi dukungan nyata, yaa walaupun cuma lewat chat atau video call, tapi ini bisa bikin mereka merasa didengar dan merasa dianggap.

Gak kalah penting, ada teori pengungkapan diri. Teori ini bilang bahwa berbagi perasaan atau pengalaman pribadi dengan orang lain membuat kita lega loh. Tren #TalkToWho yang lagi viral di Tiktok adalah salah satu bukti bahwa Gen Z melakukan pengungkapan atas dirinya. Mereka melepaskan beban emosional yang mereka pendam, membangun kedekatan kepada penonton tiktok, dan merasa lebih lega. Pengungkapan diri itu bentuk self-care loh, bukan sekedar drama atau cari perhatian.

Interaksi sosial yang berkualitas lebih penting daripada jumlah teman. Bicara dengan seseorang yang bisa mendengar tanpa menghakimi dapat menurunkan stress, meningkatkan rasa aman, dan membantu refleksi diri. Bahkan percakapan singkat tapi tulus bisa bikin dampak besar bagi mental health loh. Ini sesuai dengan Maslow: rasa diterima dan dicintai adalah kebutuhan psikologis yang mendasar.

Selain mencari someone to talk, Gen Z juga bisa jadi someone to talk untuk teman-temannya loh. Mendengarkan mereka, memberikan dukungan yang sederhana, atau sekedar menanyakan kabar bisa meningkatkan rasa keterhubungan sosial. Hal-hal kecil yang seperti ini lebih sering berdampak daripada sekedar like atau comment di media sosial mereka. Teori dukungan sosial  juga menekankan bahwa kualitas dukungan sosial lebih penting daripada kuantitasnya.

Tren #TalkToWho juga ngajarin Gen Z bahwa curhat adalah sebuah hal yang sangat normal dan sehat loh. Banyak yang takut dianggap "drama" atau cari perhatian. Padahal, berbagi pengalaman dan perasaan adalah cara efektif untuk memproses emosi. Dengan pengungkapan diri yang tepat, hubungan menjadi lebih dekat dan mental jadi lebih stabil.

Praktik yang bisa digunakan Gen Z:

  • Pilih orang yang bisa diajak curhat tanpa nge-judge kalian.
  • Memulai percakapan dengan jujur dan terbuka: "Aku lagi pengen curhat nih, boleh gak aku cerita ke kamu?"
  • Jadi someone to talk buat temen. Mendengarkan curhatan teman adalah bentuk sebuah penghargaan agar hubungan kalian menjadi lebih dekat.
  • Gunakan media sosial untuk platform yang positif, tapi inget ya, jangan jadikan media sosial menjadi satu-satunya sumber dukungan.

Selain itu, penting buat Gen Z menyadari bahwa koneksi digital tidak selalu sama dengan dukungan secara langsung. Banyak loh yang punya teman di medsos, tapi mereka merasa kesepian. Interaksi menjadi berkualitas apabila melibatkan empati, perhatian, dan waktu. Tren #TalkToWho menekankan bahwa koneksi secara langsung itu penting. Daripada terus scroll tanpa henti, tanyakan pada diri sendiri: "Hari ini aku bisa cerita sama siapa ya?". Kamu bisa bercerita dengan teman dekat, orang tua, dan saudara kamu, jadi gak harus punya pasangan ya!. Kadang dengan berbagi sedikit perasaan kita, udah bikin kita lega loh. 

Tren ini ngajarin Gen Z bahwa kesehatan mental butuh perhatian nyata, bukan hanya haus validasi aja. Jadi mulai sekarang, perhatikan siapa yang bisa kamu ajak bicara. Dan jadilah seseorang yang mau mendengarkan orang lain juga ya. Karena mendengarkan curhatan seseorang sudah bikin mereka merasa dianggap dan lega.

Pesan penulis terhadap tren ini adalah media sosial memang bikin kita terhubung, tapi kesehatan mental dan hubungan tulus juga butuh interaksi nyata. Mencurahkan isi hati, mendengarkan seseorang dengan seksama, dan menjadi 'someone to talk' itu bukan cuma tren. Itu cara nyata Gen Z menjaga kesejahteraan mental dan membangun hubungan yang berarti.

Penulis: Aliyah Ardhana Riswari (Mahasiswa S2 Psikologi Universitas Airlangga)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun