Kita Semua Pernah Jadi Korban
Coba kita renungkan sejenak, kapan terakhir kali Anda bisa berjalan di trotoar tanpa khawatir diserempet motor ? Atau naik TransJakarta dengan jalur yang steril dari mobil pribadi ? Atau bersepeda tanpa perlu waswas disalip dari kiri-kanan ?
Seolah jadi ironi, jalur-jalur khusus yang sengaja dibangun untuk membuat kota lebih manusiawi justru menjadi simbol paling kasat mata bahwa kita gagal menata keadilan di ruang publik. Padahal, trotoar, jalur sepeda, dan jalur busway bukan cuma soal teknis transportasi. Mereka adalah ruang hidup. Dan setiap pelanggaran terhadapnya adalah pelanggaran terhadap hak hidup warga kota.
Hukum Ada, Tapi Tak Ditegakkan
Indonesia punya aturan yang cukup tegas soal ini. Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, misalnya, memberikan ancaman sanksi pidana atau denda kepada siapa pun yang melanggar marka dan rambu lalu lintas. Jalur khusus sudah diatur pula dalam peraturan-peraturan daerah, seperti Pergub DKI Jakarta No. 128 Tahun 2019 tentang jalur sepeda.
Namun, hukum yang tidak ditegakkan adalah hukum yang mandul. Kita bisa punya aturan setebal ensiklopedia, tapi jika pelanggaran terus terjadi tanpa konsistensi penindakan, hukum itu hanya akan jadi hiasan.
Seperti dikatakan oleh Dr. Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum pidana Universitas Trisakti : "Masalahnya bukan pada aturan, tapi pada penerapannya yang tidak konsisten. Masyarakat melihat ini sebagai ruang negosiasi, bukan kepatuhan." Ini sangat berbahaya. Sebab begitu masyarakat tidak lagi percaya pada keadilan hukum, maka lahirlah kekacauan yang sistemik. Pelanggaran dianggap biasa, dan ketaatan menjadi bahan lelucon.
Realita: Pelanggaran yang Jadi Pemandangan Sehari-hari
Setiap hari kita melihatnya : mobil menerobos jalur busway karena 'buru-buru'. Motor naik trotoar karena 'macet'. Parkir mobil di jalur sepeda karena 'cuma sebentar'. Menurut data dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dalam sehari bisa terjadi lebih dari 50 pelanggaran jalur busway di kawasan strategis. Sementara ITDP Indonesia mencatat, sekitar 40% jalur sepeda di Jakarta tidak steril dari kendaraan bermotor. Tak hanya menyusahkan, pelanggaran ini menimbulkan risiko nyata. Pejalan kaki bisa terserempet. Pesepeda kehilangan rasa aman. Dan pengguna TransJakarta yang seharusnya dapat prioritas, justru terjebak macet.
Mengapa Pelanggaran Ini Terus Terjadi ?
Jawabannya mungkin sederhana, tapi kompleks : karena bisa. Ketika tidak ada sanksi yang serius, masyarakat merasa tak rugi melanggar. Ditambah dengan mentalitas 'asal cepat', 'semua orang juga melanggar', maka pelanggaran ini berubah dari penyimpangan menjadi kebiasaan kolektif. Menurut Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Sosiologi Hukum UI, ini disebut sebagai bentuk rendahnya kesadaran hukum (legal consciousness). Hukum hanya dianggap sebagai aturan formal, bukan sebagai nilai hidup bersama.
Sosiologi Hukum: Bukan Sekadar Pasal dan Denda
Sosiologi hukum memandang hukum bukan sekadar kumpulan aturan tertulis, tetapi juga sebagai hasil interaksi sosial. Saat masyarakat terus-menerus melihat pelanggaran tanpa sanksi, maka yang terbentuk bukan ketakutan, tetapi pembiaran. Satjipto Rahardjo, tokoh besar sosiologi hukum Indonesia, bahkan mengatakan: "Hukum itu bukan hanya soal norma, tapi soal bagaimana ia hidup dan dirasakan dalam masyarakat." Jika hukum tak bisa menjawab kebutuhan keadilan ruang kota, maka masyarakat akan menciptakan 'hukum mereka sendiri' dan itulah yang kita lihat sekarang.