Mohon tunggu...
alisybro
alisybro Mohon Tunggu... mahasiswa prodi PAI uin syarif hidayatullah jakarta

suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

fiqh dan sains dalam islam di era modern

22 Mei 2025   11:31 Diperbarui: 22 Mei 2025   11:33 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam tradisi keilmuan Islam, fikih dan sains merupakan dua bidang yang memiliki peran strategis dan saling menunjang. Fikih, sebagai ilmu yang membahas aturan kehidupan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, tidak hanya mengatur soal ibadah dan hubungan sosial, tetapi juga menunjukkan betapa Islam terbuka terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Sementara itu, sains—yang lahir dari proses pengamatan dan eksperimen terhadap alam ciptaan Allah—menjadi bukti bahwa akal dan wahyu dapat berjalan selaras. Keterkaitan antara fikih dan sains membuka peluang untuk merumuskan hukum-hukum yang relevan dengan tantangan zaman modern, serta membuktikan bahwa Islam adalah agama yang mendorong pencarian dan pengembangan ilmu. Artikel ini akan membahas keterhubungan antara fikih dan sains dalam perspektif Islam, serta peran keduanya dalam membangun peradaban yang unggul dan beretika.

seorang cendekiawan bernama Ibrahim Moosa menyampaikan pendapatnya mengenai hubungan antara fiqh (hukum islam) dengan ilmu pengetahuan. Ibrahim Moosa berpendapat bahwa sistem fikih dalam tradisi Islam mengalami hambatan dalam merespons dinamika zaman modern, termasuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia mengkritik pendekatan fikih yang terlalu bergantung pada interpretasi tekstual yang kaku dan kurang memberi ruang pada pemahaman kontekstual yang lebih relevan dengan kondisi masa kini.

Menurutnya, umat Islam perlu membangun kembali metode ijtihad yang tidak hanya berpegang pada teks, tetapi juga mempertimbangkan realitas sosial, budaya, dan ilmiah yang berkembang. Dalam hal ini, penalaran etis menjadi komponen penting dalam pengambilan hukum Islam, sehingga fikih dapat beradaptasi dengan tantangan baru tanpa kehilangan nilai-nilai dasarnya.

Moosa juga menyoroti kecenderungan sebagian kalangan Muslim yang memandang ilmu pengetahuan modern—terutama yang berasal dari Barat—dengan sikap curiga atau bahkan penolakan. Ia menganjurkan agar umat Islam tidak sibuk “mengislamkan” sains, melainkan membangun kerangka etika Islam yang kuat untuk berinteraksi secara kritis dan konstruktif dengan sains modern.

Secara keseluruhan, Ibrahim Moosa menekankan perlunya pendekatan fikih yang lebih fleksibel dan terbuka, agar mampu berdialog dengan perkembangan ilmu pengetahuan secara sehat. Relasi antara fikih dan sains seharusnya saling mendukung dalam membentuk masyarakat yang adil, rasional, dan tetap berpijak pada prinsip-prinsip Islam.

Pandangan kritis Ibrahim Moosa yang menyoroti perlunya rekonstruksi fikih agar lebih kontekstual dan terbuka terhadap sains modern, meskipun mendapat apresiasi dari sebagian kalangan akademik, juga menuai kritik dan bantahan dari sejumlah ulama dan pemikir Muslim yang berpandangan lebih konservatif atau tekstualis.

1. Risiko Relativisme dalam Fikih

Para pengkritik berpendapat bahwa pendekatan Moosa yang terlalu menekankan penalaran kontekstual dan etika subjektif berpotensi melemahkan otoritas teks syar’i (Al-Qur’an dan Hadis). Mereka khawatir bahwa mengutamakan penyesuaian terhadap realitas sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan bisa membuka pintu relativisme hukum, di mana prinsip-prinsip fikih yang telah mapan bisa diubah-ubah sesuai situasi, sehingga mengaburkan batas halal dan haram.

2. Fikih Klasik Sudah Adaptif

Sebagian ulama membantah bahwa fikih klasik bersifat stagnan. Mereka menekankan bahwa ulama terdahulu sudah memiliki perangkat ijtihad yang sangat kaya dan fleksibel, seperti qiyas (analogi), istihsan (preferensi hukum), dan maslahah mursalah (pertimbangan kemaslahatan). Oleh karena itu, mereka menilai bahwa tidak perlu pendekatan baru seperti yang diajukan Moosa, cukup dengan menghidupkan kembali metode ijtihad klasik yang sudah ada.

3. Kekhawatiran terhadap Westernisasi Pemikiran Islam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun