Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Apa Iya, Satpol PP Diperlukan?

19 April 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:26 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_182880" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi Satpol PP./Admin (KOMPAS.com/Dhoni Setiawan)"][/caption]

“Kamu tuh kalau lagi operasi, galaknya minta ampun. Kayaknya nggak ada lagi yang lebih galak ketimbang kamu. Tapi kalo lagi gini, kerjaannya dikit-dikit ngutang! Kapan bayarnya, emang gajimu naik secepat harga-harga naik!” gerutu perempuan setengah baya pemilik warung nasi yang Kabayan masuki untuk mengisi perutnya yang lapar. Gerutuan itu bukan ditujukan pada Kabayan, tapi pada seorang lelaki berseragam Satpol PP yang masuk ke warung itu. Di dadanya tertulis nama Sodikin. Sementara, Sodikin sendiri tampak santai saja, mencomot telor asin untuk menambah lauk sayuran di piringnya.

“Yaah, namanya juga lagi tugas, Ceu. Kalau nggak galak, saya nggak bakalan naik pangkat atuh...” jawab Sodikin sambil cengar-cengir dan menyendok isi telor asinnya, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Hanya empa kali sendokan, telor asin sudah habis, dan ia segera menggantinya dengan yang baru. “Iya, ngerti, tapi kalo mau operasi teh kasih tau saya dulu, es em es, jadi saya bisa siap-siap. Terus kasih tau, operasinya pake gusur-gusuran enggak...” kata si pemilik warung lagi.

“Kan saya selalu es em es, Ceu...” Sodikin membela diri. “Ah kamu mah es em es nya telat terus. Operasi jam 10, ngasih tau jam sepuluh kurang lima. Telat atuh, saya nggak keburu beberes!” kata si pemilik warung lagi. Sodikin nyengir, “Kan saya juga baru tau sepuluh menit sebelum operasi. Lagian kan biasanya saya disuruh baris, upacara, baru dikasih tau operasi di mana. Itu juga untung kan. Coba kalo nggak dikasih tau sama sekali, pasti Ceu Onah ruginya lebih gede...” katanya lagi.

“Heran sayah mah,dulu zaman namanya Tibum, Kamtib, Tramtib, terus Satpol PP, tetep aja kelakuan sama, nyusahin orang kecil. Memangnya kalian nggak punya sodara yang jualan kayak saya ini?” tanya lelaki yang sedang menggoreng telor di bagian belakang warung, kayaknya suami perempuan tadi. “Tugas saya dan kawan-kawan bukan nyusahin Kang, tapi beberes kota, dari pedagang yang nakal jualan di trotoar yang dilarang, penjual miras, memberesi bangunan yang menyalahi aturan, macem-macem lah...” Sodikin membela diri, kali ini nggak pake cengar-cengir, bukan serius, tapi lagi kepedesan, buktinya dia dengan cepat menghabiskan minumannya.

“Iya, tapi kan aneh. Warung kita tiap hari didatangi oleh petugas retribusi, duitnya masuk pemerintah. Itu kan tandanya kita dibutuhkan kota, tapi giliran lain, kita digusur, dikejar-kejar kayak penjahat saja!” timpal si pemilik warung perempuan. “Bener, kadang-kadang komandan kamu juga datang ke sini, minta jatah. Sudah lebih gede dari retribusi, duitnya juga pasti nggak masuk ke kas pemda. Sama aja dengan si Juned preman yang suka minta jatah juga, duitnya masuk ke kantongnya sendiri...” timpal suaminya, “Padahal kalo operasi, komandanmu itu ada di belakang, pura-pura nggak kenal. Sama dengan si Juned yang langsung hilang!” tambahnya.

“Yang minta jatah kan komandan sayah, saya mah sama aja, nggak pernah kebagian apa-apa. Tapi kalo tugas bagian paling depan, kalo bentrok saya yang kena timpuk duluan. Ya gitu deh nasib Satpol pangkat kere kayak saya ini. Sudah gitu, ngutang diomelin juga sama yang punya warung, padahal kan bayarnya tertib, paling nggak kalo gajian kan pasti bayar...” kata Sodikin. “Kalau nggak ada saya sama temen-temen saya, siapa yang makan di sini dengan bayar teratur? Nggak kayak tukang becak yang bayarnya nggak jelas, nunggu penumpang, padahal sekarang yang naik becak makin langka!” tambahnya.

“Ya bener kalo soal itu mah,” kata pemilik warung yang laki-laki, “Tapi apa nggak bisa diusahakan supaya kita nggak selalu dikejar-kejar? Kumaha we (gimana saja) caranya. Kan kamu juga kalo nggak ngejar-ngejar nggak perlu capek, gaji tetep dapet kan?” tanyanya lagi.

Sodikin nyengir sambil nyeuhil (membersihkan gigi pake tusukan), acara makannya rupanya sudah selesai, kilat, ngalahin Kabayan yang sudah lebih dulu di warung itu. “Ya itu mah seharusnya urusan pemda, nyediain tempat usaha yang bener. Tapi saya malah khawatir Kang, kalau semua pedagang itu tertib, nggak ada pengamen, pengemis, bencong, preman, dan macem-macem, jangan-jangan nanti saya malah nggak diperlukan lagi. Kalau semuanya tertib, jangan-jangan Satpol PP nggak diperlukan lagi. Terus saya harus kerja apa? Kalo saya nggak kerja, saya nggak bisa makan di sini lagi dengan bayar yang tertib. Kan Akang sama Ceuceu juga yang rugi kehilangan pelanggan setia seperti saya dan kawan-kawan...” kata Sodikin.

Si pemilik warung, yang laki maupun yang perempuan sama-sama diam. Sodikin melanjutkan omongannya, “Bayangkan saja Kang, Ceu, kalau Satpol dibubarkan, berapa ratus atau ribu orang yang bakalan nganggur. Belum lagi orang yang kehilangan order, mulai dari penyedia seragam, penyedia sepatu, pentungan, tameng, tukang bordir nama di seragam...” sambungnya.

“Jadi kamu menganggap kalau ketidaktertiban itu yang jadi ladang usaha kamu?” tanya si pemilik warung perempuan. Sodikin mengangguk mantap, “Kira-kira begitulah. Kalau tertib, buat apa ada Satpol. Kalau semua orang baik, buat apa ada polisi, jaksa, hakim, pengacara. Kalau semua orang sehat, buat apa ada dokter. Kalau semua orang pinter, buat apa ada sekolah. Kalau semua orang kenyang, buat apa ada warung makan. Terus, orang-orang itu mau kerja apa?” kata Sodikin dengan mantap.

Si pemilik warung diam dua-duanya,  tapi si perempuan segera menyahut, “Ini bukan akal-akalan supaya kamu diizinkan nambah utangan kan?” tanyanya. Sodikit nyengir, “Kalo nggak boleh ngutang, seberapa banyak yang bakal makan di sini Ceu? Motor sama mobil saja diutangin biar laku!”

Kabayan ikutan nyengir, ia lalu beranjak pergi karena acara makannya sudah selesai. Tapi tiba-tiba ia dipanggil si pemilik warung perempuan, “Mang, situ satpol bukan?” tanyanya. Kabayan menggeleng. “Kalau bukan satpol, berarti nggak ngutang kan?” tanyanya lagi. Kabayan menepuk jidatnya, “Haduh, maap, lupa...” katanya sambil mengambil duit di selipan kopiahnya.

Jogja, 19 April 2012

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun