Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (108) Darah Budak, Kerabat Bandit

18 Maret 2021   18:25 Diperbarui: 19 Maret 2021   22:34 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

 Nenek Miso mengangguk, "Cucuku yang cerita. Dia kan ikut menggarap lahan anggur milik keluarga Amilakhvari di sini.

 "Terus, kenapa masih pada bekerja untuk mereka?" tanya Soso.

Perempuan tua itu terkekeh, "Terus mau ngapain lagi?" tanyanya sambil menatap Soso dengan matanya yang sudah kabur. "Dulu banyak budak yang dibebaskan dan diberi lahan. Tapi tak banyak yang bisa mempertahankannya. Sebagian kembali lagi dibeli keluarga itu, atau bahkan dibeli oleh orang-orang Armenia. Jadi kalau kau hidup di sini, kau tinggal pilih saja, kerja pada orang Armenia atau pada pada keluarga Amilakhvari!"

Soso diam.

"Satu-satunya pekerjaan murni kita ya hanya membuat tembikar..." lanjut Nenek Miso. "Tapi penghasilan dari tembikar itu tak bisa diandalkan untuk hidup sehari-hari. Apalagi sekarang, tembikar dari sini sudah tak laku lagi di Tiflis. Banyak tembikar bagus yang didatangkan dari Persia...."

"Apa keluarga Amilakhvari itu keluarga yang baik, Bebia?"

"Dulu iya, angkatan-angkatan yang lebih tua..." jawab Nenek Miso. "Kakekmu kan juga budak, tapi hidupnya baik-baik saja. Memang tak kaya, tapi lebih baik. Kalau pertanian gagal, mereka sering membantu memberikan makanan. Sekarang, kalau gagal, ya sudah. Jangankan diberi bantuan, kadang para pengelolanya harus nombok..."

"Kalau kerja pada orang Armenia?"

"Sama saja!" tegas Nenek Miso, "Sekarang judulnya saja bebas, tapi jauh lebih sengsara ketimbang saat menjadi mona!"[5]

"Kalau bebas, kenapa tak cari kerjaan lain saja?"

Nenek Miso tertawa lagi, "Mau kerja apa? Kerja di pabrik di Tiflis? Sama saja. Di sana malah lebih sengsara, karena makan saja harus beli. Kalau di sini, meski duit sedikit, soal makan masih bisa. Kalaupun tak punya, masih ada saudara atau tetangga yang mau membantumu kalau sekadar makan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun