Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Rumah Berantakan Tanda Ada Kehidupan

7 Maret 2021   14:18 Diperbarui: 7 Maret 2021   14:54 1114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: diolah dari www.mom.com

"Maaf ya, rumahnya berantakan!"

Kalimat itu rasanya sering sekali kita dengar kalau berkunjung ke rumah orang, terutama yang baru kita kunjungi. Begitupun istri saya kalau rumah kedatangan tamu yang baru berkunjung. Biasanya, kalimat itu disertai dengan sang tuan rumah yang terburu-buru membereskan barang-barang, atau menyuruh anak-anak memberesi pun menyingkirkan mainannya dari ruang tamu.

Tak jarang pula kita berkunjung ke sebuah rumah yang sangat rapi. Barang-barang, setidaknya di ruang tamu, tertata rapi, bersih, bebas dari debu. Sunyi, tenang, dan terlihat sangat nyaman. Lalu kita membandingkannya dengan rumah sendiri yang tak seperti itu, dan berpikir, kapan ya rumah kita bisa serapi itu.

Rumah yang berantakan selalu diasosiasikan dengan tuan rumah yang malas beberes, dan sebaliknya, rumah yang rapi menandakan tuan rumah yang rajin. Bisa juga menunjukkan hal yang lain, rumah yang berantakan tak memiliki asisten rumah tangga, dan rumah yang rapi punya asisten yang selalu sigap mengembalikan barang ke tempat seharusnya.

Lalu benarkah yang bersih dan rapi itu selalu lebih baik?

Dalam perspektif keindahan dan kenyamanan mata, tentu saja. Tapi tunggu dulu, rumah berantakan tak selamanya berkonotasi buruk.

Waktu si sulung belum lahir --masih dalam kandungan-- dan istri saya sudah ikut pindah ke Jogja setelah meninggalkan pekerjaannya di Jakarta, rumah kontrakan itu selalu rapi. Saya ambil buku, sedang asyik dibaca, ditinggal sebentar, sudah balik lagi ke tempatnya. Halaman yang sedang dibaca 'hilang' dan harus mengingatnya lagi sampai di mana. Saya iseng melukis, ditinggal sebentar, peralatannya sudah dirapikan, padahal belum selesai. Punya waktu luang bikin meja, lemari, atau perabotan kayu lainnya --yang tak mungkin selesai satu hari---pas mau dilanjutkan sudah rapi lagi.

Apa jadinya? Mood membaca, melukis, atau ngoprek langsung hilang.

Lalu saat anak-anak mulai 'berdatangan,' yang pertama, kedua, ketiga, istri saya mulai kewalahan. Rumah tak bisa lagi rapi. Baru diberesi, sudah dibuat berantakan lagi. Mainan, pakaian, segala macam, bertebaran di mana-mana. Belum lagi saya yang memang hobi berantakan, melukis, membuat perabotan kayu, ngoprek motor, dan terutama kalau sedang menulis, buku-buku pasti bertebaran di sekitar meja kerja.

Saya lalu 'diusir' ke ruangan sendiri. Segala kegiatan saya di situ. Mau berantakan silakan, mau ngopi sambil ngebul silakan, tapi jangan di rungan lain. Bahkan kasur pun dan televisi pun tersedia di kamar saya itu, seperti saat jadi anak kos dulu.

Di ruangan lain? Tetap saja tak bisa rapi. Rupanya anak-anak menuruni bakat berantakan saya. Matras lepas disusun jadi rumah-rumahan, kaleng bekas disusun jadi pagar, kardus dibolongi jadi rumah 'barbie,' wajan dibuat atap rumah 'dome,' garpu disilangkan jadi arch pengantin. Sementara si bungsu yang cowok mengangkut batu, tanah, bahkan rumput dari luar, membuat trek mobil-mobilan mininya. Diberesi ibunya? Ngamuk semua!

Apalagi sekarang, ketika istri saya bekerja kembali, saya lebih banyak di rumah bersama anak-anak yang PJJ, rumah makin tidak berbentuk. Istri sudah makin malas beres-beres karena capek kerja.

Kalau sudah terlalu parah, biasanya saya turun tangan, mengajak mereka memberesi dan membersihkan semuanya. Mau? Tergantung. Kalau saya melihat formasi rumah-rumahan atau trek mobil itu sudah tidak berubah selama beberapa hari, berarti mereka sudah bosan. Kalau begitu, biasanya mereka mau diajak memberesi dan membersihkannya. Tapi kalau masih dioprek, jangan harap, itu tandanya mereka masih menyukainya dan memainkannya. Biarkan saja.

Tapi ya itu, rapinya paling hanya sehari dua hari. Setelah itu, ya berantakan lagi, ganti tema. Wajan kembali ke dapur, panci diangkut jadi kolam renang. Batu dibuang, kayu dibawa jadi jembatan mobil-mobilan.

Apakah itu buruk? Memang tak enak dipandang mata. Tapi saya melihat sisi positifnya. Rumah yang berantakan tak selalu berkonotasi dengan hal yang negatif seperti kemalasan. Justru saya menganggap ketika semua barang yang ada di dalam rumah meninggalkan tempatnya, berarti barang itu dipakai atau menjalankan fungsinya.

Buku meninggalkan rak, berarti bukunya diambil, dilihat, atau bahkan dibaca. Wajan meninggalkan gantungan berarti habis dipakai masak. Mainan anak keluar dari kotaknya berarti habis dimainkan. Sepeda anak sedikit-sedikit ada yang rusak dan minta dibenerin, berarti habis dipakai.

Selama judulnya bukan pajangan atau barang koleksi seperti lukisan, jam, atau foto dinding, ya memang harus 'diberantakin' alias digunakan. Buku, panci, mainan, sepeda, bagi saya ya itu bukan pajangan. Semakin sering meninggalkan tempatnya ya semakin baik.

Saya teringat rumah kawan yang selalu rapi. Soal kerapiannya memang membuat iri. Tapi buku-buku di raknya, nyaris tak pernah bergeser, selalu dalam posisi sama. Mainan anaknya selalu di situ, rapi dan kinclong. Anak-anaknya tak pernah berbuat onar memberantakkan rumah, tapi lebih banyak menghabiskan dirinya di dalam kamar main game di hape. Badannya makin subur, kacamatanya makin tebal. Bagi saya, nilai kerapian rumahnya itu langsung hilang.

Prinsip orang memang beda-beda, tapi bagi saya rumah selalu berantakan itu bukan sebuah masalah. Itu menunjukkan rumah itu hidup, ada aktivitas, ada kreatifitas. Dibanding yang tak pernah berantakan sama sekali. Idealnya memang berantakan, dirapikan, berantakan, dirapikan lagi. Tapi kan tak selalu bisa begitu, kecuali punya asisten rumah tangga yang bertugas khusus untuk itu. Atau, ada ruangan khusus untuk 'berantakan,' yang tentu saja belum tentu bisa dimiliki oleh setiap keluarga.

Tapi, rumah yang berantakan dengan barang-barangnya tak kembali ke tempat semestinya juga berbahaya. Istilahnya bukan tetap berantakan, tapi berantakan tetap. Pakaian kotor menumpuk berhari-hari di ruang tamu, panci dan wajan bekas pakai sampai berjamur, mainan anak sampai dipenuhi sarang laba-laba, ya itu sudah kelewatan juga. Kalau itu sih bener-bener menunjukkan tanda penghuninya sudah kelewatan malasnya!

So, rumah anda selalu rapi atau selalu berantakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun