Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kisah Sponsor di Jersey Sepak Bola

23 Februari 2021   12:26 Diperbarui: 24 Februari 2021   04:30 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Alip Yog Kunandar

Karena terlalu 'vulgar' mereka kemudian mengakalinya hanya dengan tulisan 'Kettering T' yang bermakna ganda, bisa Kattering Town (nama klub) atau juga Kattering Tyres (nama sponsor). FA pun bingung.

Saat itu, dua klub yang bermain di Divisi I, Bolton Wanderers dan Derby County, sebetulnya sudah memiliki kontrak sponsor yang lumayan besar. Bolton dengan Reebok, Derby dengan Saab, produsen mobil. Pemain Derby malah lebih keren, pemainnya wara-wiri dengan menggunakan mobil itu. Tapi nama 'Saab' di kaos hanya dipakai di pertandingan tak resmi.

Otoritas sepak bola Inggris sebetulnya sudah bersedia untuk memberi izin sponsor di kaos. Masalahnya, mereka terikat kontrak dengan penyelenggaran siaran televisi, BBC dan ITV. Kedua stasiun TV itu menolak menyiarkan pertandingan dimana ada tim yang memakai sponsor di kaosnya.

Celah itu langsung dimanfaatkan oleh Liverpool. Tahun 1979, Mereka segera mengikat kontrak dengan perusahaan elektronik Hitachi dari Jepang dengan nilai 100 ribu poundsterling selama dua tahun (sebuah angka yang terlihat sangat kecil saat ini). 

Tapi The Reds hanya boleh menggunakan kaos bersponsor itu jika pertandingan tidak masuk dalam jadwal tayang televisi, dan juga tidak boleh menggunakannya dalam pertandingan resmi di tingkat Eropa.

Langkah Liverpool menarik minat klub London Arsenal. Bos Arsenal saat itu, Peter Hill-Wood, tadinya vokal menentang, karena takut datangnya sponsor akan menghilangkan identitas klub, terutama soal warna pakaian.

Tapi saat disodori duit 500 ribu pound dari JVC, perusahaan elektronik Jepang lainnya, ia berubah pikiran. Apalagi JVC berjanji tak cawe-cawe soal warna pakaian.

Di saat yang bersamaan, di Italia juga terjadi pergerakan. Klub asal kota Udine, Udinese, menjadi pelopor dengan memasang merek 'Teofilo Sanson' tahun 1978 dalam kaos belang hitam-putih mereka. Ini mengilhami sesama klub belang hitam-putih lainnya dari kota Turin, Juventus. Si Nyonya Tua pun memasang logo 'Ariston' tahun 1979.

Bagaimana dengan klub-klub Indonesia? Ketika sepak bola Indonesia masih 'terbelah' dua antara Perserikatan dengan Galatama (Liga Sepak bola Utama), hanya tim-tim Galatama saja yang bersponsor.

Karena, mereka memang tim 'buatan pabrik' seperti Krama Yudha Tiga Berlian (otomotif), Semen Padang (semen), Petrokimia (pupuk), dan sebagainya. Sementara klub perserikatan hanya membawa nama daerah dan dibiayai oleh pemda (APBN/APBD).

Ketika Liga Indonesia digulirkan musim 1994-95 dengan menggabungkan dua 'mazhab' itu, persoalan sponsor mencuat. Liga itu disponsori oleh perusahaan rokok Dunhill, sehingga bernama Liga Dunhill. Semua tim peserta, hanya diperkenankan memakai logo kompetisi (dengan nama Dunhill di dalamnya). Hal ini dilanjutkan dengan sponsor berikutnya, Kansas (juga rokok) dan Bank Mandiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun