Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Hubungan Mochtar Lubis dan David T. Hill

20 Januari 2021   11:19 Diperbarui: 20 Januari 2021   11:59 606
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua buku David T. Hill (dokpri)

Karena lagi pada rame ngomongin bule (baik bule yang beneran berkulit bule, maupun yang menjadi 'bule' karena kewarganegaraannya alias WNA), saya jadi teringat seorang bule yang sangat saya kenal pandangan-pandangannya tentang Indonesia, khususnya soal pers di Indonesia. Namanya David T. Hill.

Sebagai orang yang tak pernah jauh dari persoalan jurnalisme di Indonesia, mulai dari praktisi (jurnalis), analis media di masa peralihan pers pasca-reformasi, hingga sekarang menjadi akademisi dengan bidang yang sama, nama David T. Hill begitu melekat dalam memori saya.

Ketika menulis makalah-makalah yang berkaitan dengan pers di Indonesia, ada dua buku David T. Hill yang selalu menjadi rujukan; Jurnalisme dan Politik di Indonesia dan Pers di Masa Orde Baru (dua-duanya terjemahan, terbitan YOI, 2011). Dua buku itu dengan sangat baik menggambarkan persinggungan antara pers dengan politik di Indonesia pra-reformasi, dari Orde Lama hingga Orde Baru.

Siapa David T. Hill? Hill, kelahiran tahun 1954, adalah Profesor Emeritus dari Murdoch University Australia untuk kajian Asia Tenggara, wabilkhusus Indonesia. Ketertarikan Hill pada Indonesia sudah dimulai sejak ia menulis tesis dengan subjek sastra populer Indonesia (khususnya cerita pendek) tahun 1977. Untuk itu, dia mulai belajar bahasa Indonesia.

Ketika melanjutkan studinya ke tingkat doktoral, lagi-lagi ia mengambil tema Indonesia, kali ini ia melirik salah satu tokoh pers sekaligus sastrawan terkemuka Indonesia; Mochtar Lubis. Hill tertarik dengan karya-karya sastra Mochtar Lubis yang dinilainya berani melakukan kritik pada penguasa.

Januari 1980, ia menulis surat kepada Mochtar Lubis untuk menyampaikan niatnya melakukan penelitian itu. Sebagaimana dikisahkan Hill dalam catatan tambahan dalam buku Jurnalisme dan Politik di Indonesia, Mochtar Lubis membalas suratnya dengan singkat, intinya, ia 'tidak keberatan' dengan niat Hill itu.

Hill pun berangkat ke Jakarta. Tapi ia baru diterima Mochtar Lubis setahun kemudian di rumahnya. Setelah itu, hingga tahun 1982, Hill setidaknya melakukan 12 kali wawancara dengan Mochtar Lubis. Niatnya untuk menulis biografi 'psikologis' Mochtar Lubis bergeser. Hill kemudian memusatkan kajiannya dengan melihat peran Mochtar Lubis sebagai jurnalis, sastrawan, dan budayawan dalam kehidupan demokrasi Indonesia. Penelitiannya itu kemudian menjadi disertasi dengan judul "Mochtar Lubis: Author, Editor, Political Actor" (1988).

Hill merasa bahwa Mochtar Lubis tidak terlalu suka dengan apa yang ditulisnya. Permintaannya pada Mochtar Lubis untuk memberi komentar mengenai disertasinya itu tidak dibalas. Akhir tahun 1989, ia mencoba menghubungi lagi Mochtar Lubis ketika ia ke Jakarta, tapi tak berhasil. Ia merasa ada yang masih mengganjal atas hubungannya itu.

Seolah ingin menebus 'rasa bersalahnya,' Hill kemudian berangkat ke Sumatra. Ia mengunjungi tempat-tempat yang pernah menjadi bagian dari kehidupan masa kecil Mochtar Lubis di Sungai Penuh, Jambi. Tiga minggu ia berada di sana. Bahkan beruntung bisa bertemu seorang teman SD Mochtar Lubis dan juga keluarganya yang lain. Hill merasa tak enak soal yang terakhir itu, karena ia berkunjung tanpa restu dari Mochtar Lubis sendiri.

Bulan Januari 1990, Hill kembali diterima Mochtar Lubis di rumahnya di Jakarta. Hill menceritakan perjalananannya. Mochtar Lubis tertarik dengan kisahnya itu, bahkan mengajak istrinya untuk mendengarkan. Tapi menurut Hill, Mochtar tidak juga mau membahas disertasinya meski berkali-kali disinggungnya. Hanya kisah perjalanannya saja yang menarik minatnya. Bahkan beberapa bulan kemudian, Mochtar mengajak istri, anak, dan cucu-cucunya melakukan perjalanan ke tempat-tempat yang dipotret oleh Hill.

Ketika istri Mochtar Lubis, Hally, meninggal bulan Agustus 2001. Hill tidak berada di Jakarta waktu itu. atas undangan Atmakusumah, wartawan senior mantan pimred Indonesia Raya, ia datang dalam peringatan 40 hari meninggalnya. Di situlah Hill diminta untuk menuliskan buku tentang Mochtar Lubis berdasarkan disertasinya, tentu saja dengan berbagai tambahan dan pengembangan. 

Bukan Mochtar yang memintanya, tapi kawan-kawannya. Buku itulah yang kemudian terbit dengan judul Journalism and Politics in Indonesia. A critical biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as editor and author yang diterbitkan oleh Routledge tahun 2010, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dengan judul Jurnalisme dan Politik di Indonesia: Biografi kritis Mochtar Lubis (1922) sebagai pemimpin redaksi dan pengarang, oleh YOI tahun 2011.

Hill menyadari bahwa buku itu, begitu juga dengan disertasi yang ditulis sebelumnya, tak pernah benar-benar 'memuaskan' Mochtar Lubis. Tapi Mochtar tetap menghargai pandangan Hill sebagai seorang akademisi. Mereka tetap saling menghormati dalam kapasitasnya masing-masing, dan tetap berhubungan baik sebagai sepasang teman atau mungkin juga sahabat. Buktinya, Mochtar tak pernah menghalangi niat Hill, ia bahkan pernah datang ke Murdoch University, tempat mengajar Hill, atas undangannya.

Saya mengagumi dua orang itu. Mochtar Lubis dengan kiprahnya sebagai jurnalis dan juga sastrawan, dan juga David T. Hill sebagai seorang akademisi yang memang harus berdiri di atas landasan keilmuan yang harus bebas nilai (meski tak selalu bahwa ilmu itu juga bisa bebas nilai).

Karya-karya akademis Hill banyak mengkritisi situasi di Indonesia, terutama berkaitan dengan pers dan jurnalisme. Tapi ia bukan pembenci Indonesia. Kecintaannya pada Indonesia dibuktikan dengan baiknya Bahasa Indonesia yang ia kuasai. Ia juga pernah mengajar Bahasa Indonesia di Australia sana. Hingga kini, ia masih bolak-balik ke Indonesia untuk berbagi pengetahuannya, dan juga masih meneliti tentang Indonesia.

Saya beruntung bertemu dengan Hill setelah sekian lama membaca karya-karyanya. Tahun 2015, dalam sebuah acara di Universitas Multimedia Nusantara (UMN, Serpong Tangerang), saya sempat berbincang singkat dengannya. Saya menyampaikan 'rancangan disertasi' saya mengenai pers berbahasa daerah. Ia menghargai hal itu, "Anda lebih paham mengenai pers Indonesia. Seharusnya memang begitu. Orang luar seperti saya, hanya melihatnya dari jauh, dengan cara pandang yang mungkin berbeda," katanya.

Saya dan David T. Hill, jomplang tingginya hehe... (dokpri)
Saya dan David T. Hill, jomplang tingginya hehe... (dokpri)
Sayangnya, saya tak beruntung soal Mochtar Lubis, tokoh yang saya dan Hill sama-sama kagumi. Saya tak pernah memiliki kesempatan bertemu dan berbincang dengan salah satu tokoh penting dalam sejarah pers di Indonesia itu. Kalau kesempatan itu ada, saya ingin bertanya tentang pandangannya soal disertasi Hill itu.

Dari hubungan dua orang itu, kita bisa belajar bagaimana Mochtar Lubis menunjukkan bagaimana seharusnya menjadi orang Indonesia; ia tetap menjadi dirinya sendiri tanpa mau merendahkan dirinya dengan 'menyerah' pada pandangan orang lain (orang luar). Mochtar membiarkan pandangan yang mungkin tak disetujuinya sebagai 'sebuah perspektif lain.' Tapi ia tidak menjauhi atau bahkan 'memusuhi' Hill. Ia masih menerima Hill dengan keramah-tamahan orang Indonesia, tapi dengan tetap menunjukkan sikap tegasnya.

Sebaliknya, Hill, tidak menjadi bule yang arogan yang memaksakan pandangannya agar diterima. Ia tetap mengagumi dan menghormati Mochtar Lubis. Bahkan, menurutnya, ia belajar 'hidup' dari Mochtar dari masa bujangan hingga ia berkeluarga dan memiliki anak.

David T. Hill dan Mochtar Lubis secara tidak langsung mengajarkan kepada kita tentang kesetaraan. Tak ada yang lebih hebat di antara mereka sebagai seorang manusia. Bule nggak bule, hanya soal kulit. Mereka layak dihormati jika mereka juga menghormati kita. Sebaliknya, kalau bule hanya datang dengan membawa masalah, kenapa pula kita tak berani untuk menendangnya keluar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun