Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Catatan 90s: (4) Jangan Pakai Telegram sebagai Pengganti WhatsApp

14 Januari 2021   00:38 Diperbarui: 17 Januari 2021   13:33 29950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Telegram Telkom (azizawumbu.gurusiana.id)

Lebih dulu mana WhatsApp atau Telegram? Berbeda dengan pertanyaan 'lebih dulu mana ayam atau telur' yang pasti berputar-putar nggak jelas, pertanyaan awal tadi akan bisa dijawab dengan yakin. Tapi, akan ada dua kubu yang menjawab dengan berbeda.

Kubu pertama adalah generasi kolonial (termasuk saya, hehe) yang akan menjawab Telegram lebih dulu daripada WhatsApp. Sementara generasi Milenial, akan menjawab dengan yakin, WhatsApp lebih dulu daripada Telegram. 

Nggak percaya? Silakan bikin survey sendiri. Bila perlu minta bantuan LSI, Indobarometer, dll, biar nggak melulu survey politik hingga dituding bayaran oleh kubu yang dikalahkan dalam surveynya.

Kenapa bisa beda? Sebetulnya bukan soal kubu-kubuan. Ibarat manusia, ini adalah sebuah nama yang dipakai oleh dua orang. "Lebih dulu mana lahirnya, Budi atau Ibu Budi?" Kan jawabannya belum tentu duluan Ibu Budi, wong Budi yang dimaksud belum tentu Budi anaknya. 

Bisa jadi Mbah Budi yang sudah sepuh. Kalau Mbah Budi sejak lahir sudah bernama Budi, lha kalo Ibu Budi kan baru pake nama itu setelah menikah dengan Pak Budi. Halah, kenapa jadi ngurusin si Budi!

Balik ke Telegram, meski --baik generasi kolonial maupun milenial---merujuk pada urusan berkirim pesan, ada dua 'nama' Telegram. Generasi kolonial lekat dengan nama Telegram yang merupakan jenis pengiriman pesan singkat berbasis sebuah alat bernama Telegraf yang mengirimkan pesan dalam bentuk kode Morse (diambil dari nama penemunya, Samuel F. B. Morse). 

Kode Morse ini dikirim melalui kabel yang dihubungkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Maka, dulu, Telegram yang ini, punya nama lain; Surat Kawat.

Sementara kaum milenial, mungkin hanya mengenal Telegram yang kedua, sebuah aplikasi berkirim pesan interaktif melalui ponsel, alias serupa dengan WhatsApp. Maka jelas Telegram yang ini lebih muda dari WhatsApp. Kalau WhatsApp lahir tahun 2009, Telegram yang ini lahir di Rusia tahun 2013.

Telegram tua, sebut saja Mbah Telegram, di Indonesia sendiri sudah ada sejak zaman Londo. Tepatnya tahun 1856. Tapi hanya dari Batavia ke Buitenzorg alias Jakarta-Bogor, PP. 

Layanan ini kemudian diteruskan oleh PT Telkom (Sebelumnya pernah bernama Perumtel). Ketika saluran telepon dari rumah ke rumah masih sangat terbatas, kemudian berkirim surat lewat Kantor Pos (yang kemudian menjadi PT Pos) memerlukan waktu yang cukup lama, Telegram menjadi alternatif untuk berkirim kabar penting untuk sanak-saudara yang jauh. Biayanya juga lebih murah daripada menelpon, biayanya dihitung per karakter. Saya lupa hitungannya berapa.

Lihat contoh teks Mbah Telegram ini:

segera

bapak Kusnaedi rt0405 kaler karangampel ciamis

kiriman bulanan ditunggu anaknya sudah kelaparan

alip ujungpandang

PT Telkom pernah membuat dua layanan Mbah Telegram, Telegram biasa dan Telegram Indah. Telegram biasa untuk berkirim pesan seperti di atas, biasanya dicetak dalam kertas putih. 

Sementara Telegram Indah khusus menyambut hari-hari istimewa, misalnya Lebaran, Natal, atau Tahun Baru; semacam kartu lebaran yang merupakan ladangnya Kantor Pos.

Seumur hidup, saya hanya satu kali menggunakan layanan ini. Bukan pesan yang di atas. Itu mah cuma contoh. Saya kirim juga bukan karena urusan mendesak, tapi iseng saja, pas mau pulang kampung pertama kalinya setelah dua tahun tak pulang (merantau tahun 94, pulang pertama tahun 96). 

Sehabis membeli tiket kapal laut, saya mlipir ke kantor Telkom lalu gaya-gayaan kirim Telegram buat bapak di kampung. Isinya, mengabarkan kalau saya akan pulang. Itu aja, nggak pake minta acara penjemputan segala.

Toh, setelah turun dari kapal laut di Surabaya, saya juga tak langsung ke rumah, tapi jalan-jalan dulu, main ke rumah kawan-kawan. Ada empat kota yang saya singgahi, Sidoarjo, Gresik, Kediri, Madiun. Namanya juga libur panjang, jadi ya dimanfaatkan lah. Sampai ke rumah sudah lebih dari dua minggu sejak awal naik kapal.

Saya sama sekali sudah nggak inget soal Telegram itu. Tau-tau pas lagi nongkrong, Bapak dikabari seseorang, katanya ada Telegram dititipkan di Balai Desa (surat-surat juga begitu, selalu didrop di balai desa, baru didistribusikan pegawai desa kalau ada tetangga atau orangnya langsung yang punya urusan). 

Mendengar itu, Bapak langsung nyari ojek buat ke Balai Desa. Pulangnya misuh-misuh. Ternyata itu Telegram dari saya yang mengabarkan kalau saya mau pulang, padahal sayanya sendiri sudah tiga hari di rumah!

Usut punya usut, begitulah layanan Mbah Telegram dulu. Kalau lokasinya di kota, akan dikirim langsung oleh petugas Telkom, tapi kalau di luar jangkauan, akan dititipkan melalui PT Pos yang punya jaringan pengiriman lebih luas. Pantesan saja lama, wong di Balai Desa saja sudah ngendon selama seminggu lebih!

Kalau dipikir-pikir, ngapain juga saya ngirim Telegram kalau saya sendiri --yang pake acara jalan-jalan-- bisa lebih dulu sampe ke rumah! Ngerjain Bapak pula, hehe...

Makanya saya tulis di judul: "Jangan Pakai Telegram Sebagai Pengganti WhatsApp." Lah iya kalau Telegramnya yang itu, si Mbah Telegram. Bukan hanya lebih lama dan tidak interaktif, tapi layanannya sendiri sudah ditutup oleh Telkom sekitar tahun 2010-an, setelah nyaris tak ada penggunanya sejak tahun 2002; ketika layanan telepon seluler sudah mulai bisa berkirim pesan (SMS) lintas operator.

Tapi kalau mau ganti WhatsApp ke Telegram aplikasi, ya silakan saja. Toh yang diblokir pemerintah (sejak 2017) adalah situsnya, bukan aplikasinya. 

Saya sendiri belum pernah menggunakan aplikasi ini, sampai sekarang. Entahlah besok lusa. Dulu juga males pake WA, tapi karena banyak tuntutan, termasuk pekerjaan, akhirnya ya pake juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun