Mohon tunggu...
Alip Yog Kunandar
Alip Yog Kunandar Mohon Tunggu... Penulis - Bukan Pemikir, Meski Banyak yang Dipikirin

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Jogja, yang lebih senang diskusi di warung kopi. Menulis karena hobi, syukur-syukur jadi profesi buat nambah-nambah gizi. Buku: Memahami Propaganda; Metode, Praktik, dan Analisis (Kanisius, 2017) Soon: Hoax dan Dimensi-Dimensi Kebohongan dalam Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Stalin: (12) Ciee... Calon Pendeta!

8 Desember 2020   08:08 Diperbarui: 16 Desember 2020   15:46 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya kira cukup, Romo..." kata Soso dengan sopan.

"Orangtuamu siapa, terus pekerjaan orangtuamu apa?" tanya Pak Subutov.

Ah, itu dia. Tadinya Soso males cerita. "Bapak saya Visarion Djugasvili, ibu saya Ekaterina Geladze. Bapak saya... pengusaha sepatu di Gori..." kata Soso, setengah bener dan setengah enggak. Ya dulu bapaknya memang pernah punya usaha kecil-kecilan, punya anak buah segala. Tapi tau sendiri lah, bapaknya itu sudah kabur entah kemana sekarang.

Pas denger Soso menyebutkan itu, anak-anak sekelas menertawakannya, apalagi anak yang tadi meneriakinya 'bangkotan,' ketawanya paling keras dan terdengar melecehkan sekali. Mungkin hanya si Peta dan si Pepa aja kayaknya yang nggak ketawa.

"Nggak apa-apa bapakmu pengusaha sepatu. Penting itu, kalau nggak ada orang kayak bapaknya Soso, kita mau pake apa sekarang..." kata Pak Subutov menenangkan. "Oh ya, nanti, ketika pelajaran sudah dimulai, tak ada lagi keributan-keributan seperti ini. Semuanya harus tertib, kalau mau bicara, angkat tangan dulu supaya tidak berebutan..." lanjutnya. "Ada lagi yang mau diceritakan?" Pak Subutov melirik pada Soso.

Soso menggeleng. Pak Subutov pun mempersilakannya balik ke bangkunya.

*****

Jam makan siang yang kesorean itu, Soso kembali berkumpul dengan Peta, Seva, dan Pepa. Menunya? Ya begitu, nggak jauh dari makanan pabrik, roti, labio, dan beberapa jenis lauk lainnya. Hanya saja rasanya lebih baik ketimbang makanan di pabrik, tapi tentu saja tak seenak masakannya Mak Imel. Anak-anak lain tampak menggerutu dengan menu itu. Salah seorang anak, anak yang sekelas dengan Soso dan meneriakinya tadi, bahkan ditegur oleh seorang pengawas karena memaki dengan menggunakan bahasa Georgia. Kotor banget bahasanya, untung saja si pengawas nggak ngerti artinya, kalau ngerti, bisa dapet hukuman tambahan selain teguran itu.

"Istirahat kita mau kemana?" tanya Seva yang jadi sedikit pendiam, itu gara-gara bahasa Rusianya yang masih parah, jadi mungkin ia berusaha untuk tidak banyak omong ketimbang keceplosan pake bahasa Georgia dan disemprot pengawas.

"Kita jalan-jalan yuk ..." kata si Pepa.

Seva dan Peta setuju. "So, kau yang tunjukan tempat yang asyik di sini ya, kan kau sudah lama di sini," kata si Peta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun