Mohon tunggu...
Alinda Khaerunisa
Alinda Khaerunisa Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Legal Consultant

Talk about Law.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Diskriminasi Ras dan Etnis terus Terjadi, Siapkah Indonesia Menghadapi Kebhinekaan yang Ada?

26 Agustus 2020   15:33 Diperbarui: 26 Agustus 2020   15:20 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Saat ini, sudah tidak asing lagi telinga kita mendengar kata "diskriminasi". Kian hari, kata tersebut kian sering digaungkan. Hal ini menjadi suatu pertanda bahwa diskriminasi kini menjadi topik hangat untuk dibicarakan oleh seantero masyarakat. Di sisi lain, hal ini menjadi pertanda pula akan masih tingginya kasus diskriminasi yang terjadi di Indonesia. Pernyataan tersebut sangatlah berdasar karena tercatat dalam Data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM), dinyatakan bahwa  sedikitnya terdapat 101 pelanggaran ras dan etnis dalam rentang tahun 2011-2018. Adapun wujud diskriminasi tersebut berupa pembatasan terhadap pelayanan publik, maraknya politik etnisitas/identitas, pembubaran ritual adat, diskriminasi atas hak kepemilikan tanah bagi kelompok minoritas, serta akses ketenagakerjaan yang belum berkeadilan. Terbaru, kasus diskriminasi yang terjadi di tengah masyarakat adalah kasus diskriminasi rasial terhadap orang asli Papua di Surabaya yang telah menarik atensi masyarakat Indonesia. Melihat hal tersebut, muncul sebuah pertanyaan apakah masyarakat Indonesia sudah siap menghadapi kebhinekaan yang hadir di Indonesia ? Apakah semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah diamalkan dan  diresapi secara mendalam dalam relung hati masyarakat Indonesia ?

Menurut survei yang dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bekerja sama dengan tim Litbang Kompas dengan judul Survei Penilaian Masyarakat Terhadap Upaya Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di 34 Provinsi yang dilaksanakan pada 25 September hingga 3 Oktober 2018 dengan 1207 responden. Melalui survei tersebut diperoleh hasil bahwa sebanyak 81,9 persen responden mengatakan lebih nyaman hidup dalam keturunan keluarga yang sama. Lalu, sebanyak 82,7 persen responden dalam survei tersebut mengatakan bahwa mereka lebih nyaman hidup dalam lingkungan ras yang sama. Terakhir, sebanyak 83,1 persen mengatakan lebih nyaman hidup dengan kelompok etnis yang sama. Survey ini menjadi bukti bahwa tingkat segregasi sosial dan primordialisme masyarakat  Indonesia masih terbilang tinggi. Penerimaan masyarakat Indonesia akan perbedaan suku,ras, dan etnis masih terbilang rendah. Hal ini  kemudian berdampak kepada sikap dan perilaku masyarakat Indonesia kepada seseorang yang memiliki suku, ras, serta etnis yang berbeda dengan mereka. Terlebih apabila suku atau etnis tersebut merupakan suku atau etnis minoritas yang harus  hidup di tengah kaum mayoritas.

Lantas, sebetulnya sudahkah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan akan diskriminasi di Indonesia ? Rupanya, Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang seharusnya mampu mengakomodir permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat kini. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa dalam kurun 7 (tujuh) tahun pasca dilahirkannya undang-undang tersebut, ICJR hanya menemukan 4 (empat) kasus yang masuk ke dalam tahapan penyidikan, dengan 1 (satu) kasus yang telah masuk tahapan penuntutan, meskipun proses peradilan tersebut terbilang sangat lambat dan hingga saat ini, setelah 12 (dua belas) tahun pasca dilahirkannya undang-undang tersebut, dapat dihitung jari kasus yang berhasil diselesaikan dan pelaku yang terjerat hukuman atas undang-undang tersebut. Hal ini membuktikan bahwa pengimplementasian dan penegakan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis tidaklah berjalan secara maksimal.

Penting untuk dipahami oleh masyarakat bahwa Pasal 9 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis menyatakan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis. Selaras dengan  bunyi pasal tersebut, Pasal 10 dalam undang-undang yang sama menyatakan bahwa salah satu kewajiban warga negara adalah membantu mencegah terjadinya diskriminasi  ras dan etnis. Melihat kedua pasal tersebut, apabila masyarakat mampu mengamalkan kewajiban dan menghormati hak warga negara yang telah dijelaskan, maka angka diskriminasi di Indonesia akan berkurang dan masyarakat dapat hidup dengan lebih saling menghargai satu sama lain. Pun dalam hal ini,  penting pula untuk diketahui masyarakat bahwa apabila dirinya telah menerima diskriminasi ras dan etnis, maka mereka berhak untuk mengajukan ganti kerugian. Pengaturan ganti rugi ini secara terang dijelaskan dalam Pasal 13 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis yang merugikan dirinya. Selain itu, bagi seseorang yang telah melakukan tindakan-tindakan  yang dapat diklasifikasikan suatu diskriminasi ras dan etnis, dapat dikenakan suatu sanksi, yang diatur dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 pada undang-undang tersebut.

Dengan belum maksimalnya penegakan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis,  muncul sebuah pertanyaan apakah masyarakat Indonesia telah mengetahui eksistensi Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008? Rasanya keberadaan undang-undang ini perlu kembali disosialisasikan dan digaungkan kepada masyarakat, agar keberadaannya dapat diketahui dan dipahami isinya oleh masyarakat seperti UU ITE yang eksistensinya sudah tidak asing di telinga masyarakat.  Dewasa ini, pengkajian penegakan hukum selalu terkait dengan system hukum ( legal system)  yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman mengenai struktur hukum, yang terdiri dari komponen struktur, substansi, dan kultur atau budaya hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai pola pengetahuan, sikap, dan perilaku sekelompok masyarakat terhadap sebuah system hukum. Dalam poin ini dapat terlihat bahwa pola pengetahuan masyarakat akan hukum, termasuk dalam suatu struktur hukum yang kemudian akan turut mempengaruhi terhadap penegakan hukum yang ada Indonesia. Bagaimana masyarakat akan tunduk kepada hukum yang mengatur kehidupan mereka apabila pengetahuan masyarakat akan hukum tersebut tidak ada, walaupun memang dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure yang menganggap semua orang tahu hukum. Hal ini membawa konsekuensi bagi Pemerintah untuk  menyampaikan adanya peraturan hukum tertentu kepada masyarakat. Dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan keberadaan atau eksistensi daripada Undang-Undang Nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, diharapkan masyarakat mampu mawas diri akan segala tindakan mereka yang berpotensi melanggar ketentuan dalam undang-undang tersebut. layaknya masyarakat saat ini yang mulai menjaga tindakan dan perilakunya dalam berteknologi dan berperilaku dalam dunia virtual akibat keberadaan daripada UU ITE. 

            Selain itu, hal krusial yang perlu dipahami oleh masyarakat Indonesia adalah kemampuan mereka untuk menerima kebhinekaan yang hadir di Indonesia. Masyarakat perlu memahami bahwa Indonesia terdiri dari banyak ras dan etnis, dengan berbagai budaya dan warna kulit yang berbeda. Dengan adanya keberagaman tersebut, sejatinya telah menjadikan Indonesia sebagai negara kaya akan budaya yang menjadi daya tarik bagi Indonesia di mata dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun