Mohon tunggu...
Alina Yusabbihullillah
Alina Yusabbihullillah Mohon Tunggu... Mahasiswi

Hobii banyak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Mungkinkah Nabi Saw Bermuka masam?

5 Juli 2025   01:12 Diperbarui: 5 Juli 2025   00:28 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Mungkin kah Nabi Saw bermuka masam?

Simak penjelasan berikut!

Sungguh heran, tidak sedikit orang-orang yang membaca kitab suci Al-Qur'an, hanya sekedar baca tulisan arab nya saja. Bahkan para penghafal al-Qur'an pun, tidak sedikit juga yang hanya menghafal bahasa arab nya, tanpa membaca atau bahkan memahami makna, dari terjemahan setiap kalimat. Rata-rata orang membaca al-Qur'an yaa tentu tujuannya pasti ingin mendapat pahala saja, seperti yang di katakan para ulama pada umumnya. Dan yang menghafal, sebagian hanya menjadikannya sebagai target, atau bahkan syarat kelulusan sekolah atau pesantren misalnya, dan lain sebagainya. Namun mengapa kebanyakan orang tidak ingin mengetahui dan memahami lebih mendalam tentang makna-makna yang mereka baca, seperti apa maksudnya dari arti ini, asbabunujul nya, atau bahkan kritis ketika menemukan arti yang mengganjal di pikiran. Seperti contoh ayat yang saya maksud yaitu: 

 

Artinya: "Dia (berwajah) masam dan berpaling, karena seorang buta datang kepadanya. Dan tahukah kamu barangkali ia ingin mepmbersihkan dirinya (dari dosa)."

Didalam mushaf Al-Qur'an yang sekarang kita pegang dan sering baca, yaitu mushaf Usmani, disebutkan bahwa yang bermuka masam ialah Nabi Muhammad saw. Bisa anda lihat di seluruh mushaf Al-Qur'an rata-rata yang di "dalam kurung" atau yang di maksud ialah Nabi Muhammad saw. Aneh bukan? Mungkinkah nabi Saw bisa bersikap seperti itu? Jelas harus di pertanyakan. Nabi Muhammad Saw adalah makhluk yang paling sempurna di seluruh alam, baik berupa fisik maupun akhlak. Ayat diatas jelas bertentangan dengan ayat berikut:

Artinya: "Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar, berbudi pekerti yang luhur". (Q.s Al-Qolam[68]:4)

Tidak mungkin rasanya, Allah aza wajalla akan mengutus seorang Rasul dan Nabi yang akhlak nya tidak bisa di tauladani oleh kalangan umatnya. Dan tujuan Allah mengutus Nabi Saw tiada lain hanya untuk menyempurnakan akhlak, dan itu langsung disampaikan oleh Nabi Saw atas perintah Allah SWT. Sebagaimana Nabi bersabda:

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia." (HR. Bukhori).

Semua perkataan nabi tiada lain dan tiada bukan adalah Wahyu dari Allah SWT. Jadi, mana mungkin Nabi mengarang semuanya. Tujuan nya yaitu agar menjadi contoh bagi umat nya yang akan menjadi tanggung jawab beliau dan beliau yang akan mempraktekan akhlak-akhlak yang mulia supaya bisa di tiru dan menjadi tauladan bagi seluruh umat di muka bumi ini.

Sebagaimana Allah SWT berfirman:

"Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah." (QS. Al-Ahzab[33]:21)

Ini beberapa bukti bahwa untuk menyepakati Arti yang di maksud ayat inti diatas yaitu makna itu lemah, karena tidak masuk akal rasanya, sosok manusia paling sempurna di seluruh alam ini bisa bersikap atau memasang wajah masam kepada orang yang buta. Oleh karena itu, kita harus mengetahui bagaimana asbab nujul nya ayat ini turun, dan apakah benar bahwa julukan ini benar ditujukan kepada nabi Saw? Ada dua kisah yang masyhur dari asbabunujul nujul ayat ini, dan tentunya berbeda perspektif. Mari kita simak;

Pendapat pertama yaitu Diriwayatkan dari 'Abdullh bin 'Abbs raiyallhu 'anhum, ia berkata: "Sesungguhnya ia adalah Rasulullah . Dan yang dimaksud dengan 'abasa watawalla' adalah 'Utb bin Rab'ah, Ab Jahl bin Hishm, Umayyah bin Khalaf, Al-'Abbs bin 'Abdul-Mualib, dan Ab Umayyah bin Khalaf. Mereka dipanggil oleh Nabi agar masuk Islam, namun mereka enggan mengikuti beliau dan memalingkan wajah dari beliau. Dan ketika itu, datang kepada beliau seorang lelaki buta, yaitu 'Abdullh bin Umm Maktm, dan ia berkata: 'Wahai Rasulullah, ajarilah aku dari apa yang Allah ajarkan kepadamu.' Nabi Saw pun menyibukkan diri untuk mengajak mereka masuk Islam dan mengharapkan keislaman mereka, dan mengabaikan orang buta tersebut. Maka, turunlah ayat tersebut."

Nabi Saw memuliakannya setelah itu dan berkata kepadanya: "Selamat datang wahai orang yang karena sebabnya Tuhanku menegurku." Dan jika ia melihatnya, beliau berkata: "Apakah engkau punya hajat yang bisa aku bantu?"

Saya dapat simpulkan dari pendapat ini, bahwasanya ini adalah teguran halus dari Allah kepada Nabi Saw. Saking halusnya, Allah tidak menyebutkan secara spesifik bahwa ayat ini ditujukan kepada Nabi Saw. Teguran halus ini mengingatkan kepada Nabi, jangan terlalu fokus kepada para pembesar kaum musyrikin, dan mengharapkan ke-islaman mereka, sedangkan ada yang lebih membutuhkan ilmu pengetahuan tentang Islam, dan ingin mengetahui cara supaya bisa menghapus dosa-dosa. Dan sikap ini sangat jauh beda jika di sandingkan dengan sikap nabi sehari-hari, yang penuh kasih sayang terhadap orang yang membutuhkan. Hal ini di dukung oleh salah satu mufasir indosenia M. Quraish Shihab, dalam karya tulisnya yaitu buku Tafsir Al-mishbah, jilid 15 (pesan, kesan, dan keserasian al-Qur'an).

Selanjutnya, Pendapat kedua yaitu : Diriwayatkan dari Imam Shdiq bahwa beliau berkata: "Sesungguhnya ayat ini turun tentang seorang lelaki dari Ban Umayyah. Ia sedang duduk di sisi Nabi , lalu datang Ibn Umm Maktm. Ketika ia melihatnya, ia membenci kedatangannya dan mengumpulkan pakaiannya darinya, maka Allah membencinya karena sikap tersebut dan menurunkan ayat ini dan mencelanya."

Menurut Al-Syarf Al-Murta, tidak layak sifat-sifat ini ditujukan kepada Rasulullah , karena beliau berada di puncak akhlak mulia. Ayat tersebut menyiratkan bahwa yang ditegur adalah seseorang yang menunjukkan ketidaksukaan, menghindar, dan memperlihatkan ketidaksenangan karena datangnya seseorang yang buta, yang mana ini tidak pantas dinisbatkan kepada Nabi . 

Dengan demikian, lebih tepat dikatakan bahwa ayat tersebut turun mengenai salah seorang dari Bani Umayyah, dan Allah mencelanya karena sikapnya tersebut terhadap orang buta. Dia, atau mungkin bahkan mereka (kalangan pembesar Quraisy) yang sedang di ajak untuk memeluk Islam oleh Nabi, merasa tidak pantas jika bersanding dengan kalangan yang kekurangan secara materi atau bahkan fisik. Padahal Allah menilai hamba-Nya dari ketakwaan dan keimanan mereka, bukan dari materi. Dan saya lebih setuju pada pendapat yang kedua.

Disini, yang menjadi perbedaan pendapat ialah karena ayat ini tidak menyebutkan secara spesifik tokoh nya. Seperti yang sudah saya pernah baca dan ketahui, menurut Syekh Mutawalli Al-Sya'rawi: "Apabila kisah di dalam Al-Qur'an disebutkan identitas tokohnya secara spesifik, maka kejadian kisah itu tidak akan terulang sepanjang zaman. Sebaliknya, apabila kisah itu tidak menyebutkan tokohnya secara spesifik, maka kejadian dalam kisah itu akan terulang sepanjang zaman."

Nah, karena didalam kisah asbab nuzul ayat ini tidak disebutkan secara spesifik tokoh nya, maka jangan gampang percaya sebelum mengetahui sendiri dan mencari mana yang lebih tepat untuk di sandingkan dengan makna ayat ini, atau ayat-ayat yang lain nya. Biasajadi seperti menurut teori diatas, sikap orang-orang yang memandang derajat karena materi dan sosial, itu ada dalam diri kita. Atau bahkan kita sendiri yang mengalami, pernah tidak dihargai karena lebih rendah derajatnya dari mereka yang memiliki materi yang cukup atau bahkan lebih. 

Sebagai umat nabi Muhammad Saw, dan beliau adalah satu-satunya yang menjadi panutan dan tauladan, tentunya kita mengetahui sifat, karakter, dan akhlak mulia selalu beliau praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan sifat utama beliau yang kita ketahui yaitu; Jujur, amanah (dapat di percaya), menyampaikan (semua Wahyu Allah SWT), cerdas, dan semua akhlak yang mulia ada pada diri beliau. Tentunya sangat bertentangan bukan, dengan ayat ini? 

Semoga dengan telah mengetahuinya asbab nuzul ini, kita dapat merenungi dan sadar, bahwa membaca Al-Qur'an jangan hanya arab nya saja, harus baca artinya Dan pahami maksud nya. Supaya kesalahan faham an ini tidak terjadi lagi kepada generasi kita selanjutnya. Mengapa sampai salah faham begini? Karena pada masa pembentukan nya mushaf Al-Qur'an yang sekarang kita pakai, yaitu mushaf Usmani, dibuat pasca nabi Muhammad Saw wafat, dan sudah jelas pasti tidak di koreksi oleh beliau. Oleh karena itulah, terjadi perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat Al-Qur'an.

Tak lupa juga menjadi renungan bagi kita semua, dan selalu mengoreksi diri, apabila masih memandang orang dari status sosial dan materi, atau masih membandingkan Drajat, padahal kita semua sama disisi Allah SWT sebagai makhluk yang lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan dan pertolongan 

dari-Nya. Wallahu A'lam 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun