Mohon tunggu...
Alin You
Alin You Mohon Tunggu... Insinyur - Penyuka fiksi, khususnya cerpen dan novel.

PPL (Penyuluh Pertanian Lapangan) • Penulis Amatir • Penyuka Fiksi • Penikmat Kuliner • Red Lover Forever • Pecinta Kucing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Serial Noval] Mak Icih dan Skateboard Akbar

14 November 2019   08:51 Diperbarui: 14 November 2019   10:47 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ternyata, liburan di Karawang itu penuh sensasi juga ya. Sungguh, aku tak pernah menyangka sebelumnya. Coba bayangkan saja. Baru saja dua hari di sini, di hari ketiga aku mendapatkan kabar tentang teror yang dilakukan oleh orang-orangan sawah. Lanjut di hari keempat aku sudah harus berurusan dengan polisi karena laporanku mengenai teror orang-orangan sawah di sawah warisan Aki Dahlan. Alhasil, hingga kini aku harus bolak-balik ke Polsek untuk dimintai keterangan sebagai saksi terkait dengan laporanku itu.

"Kumaha perkembangan terakhir dari kasus orang-orangan sawah itu, A?" sapa Bi Isah saat dilihatnya aku diturunkan Kang Idrus di teras depan rumah mendiang Aki. Sepiring kue cucur dan secangkir teh manis hangat rupanya telah terhidang manis di situ.

"Lieur ah, Bi," jawabku seraya mencomot kue cucur bikinan Bi Isah sendiri. "Hm, kuenya enak, Bi. Belum seminggu saya di sini, kayaknya saya bakalan betah nih. Soalnya, saban hari, pagi dan sore, selalu aja disuguhi kue-kue kampung yang lezat bikinan Bibi."

Bi Isah hanya tersenyum menanggapinya. Kemudian duduk di sebelahku seraya bertanya, "Lieur kumaha, A? Belum ketemu kitu siapa pelakunya?"

Aku menggeleng. Mulutku penuh dengan kue cucur sehingga kesulitan untuk menjawab pertanyaan Bi Isah itu. Setelah agak kosong, baru aku mulai bicara. 

"Belum ada titik terangnya, Bi. Soalnya teror tersebut dilakukan oleh orang-orangan sawah yang melayang-layang di tengah sawah tepat tengah malam lagi. Jadi untuk sementara polisi belum bisa menyimpulkan apakah itu dilakukan pake magic ato ada cara lain untuk menggerakkan orang-orangan sawah itu."

"Ah, peeling (feeling, maksudnya) Bibi mah yang menggerakkan itu semua udah pasti ada alatnya atuh. Orang jaman udah canggih gini kok ya polisi masih aja percaya ama magic."

Mendengar komentar Bi Isah itu, aku hanya bisa tersenyum. Ya, kuakui kalau Bibi Isah dan Mang Subur itu memang tipikal pasangan yang sudah modern pemikirannya. Mereka sudah tak terlalu percaya lagi sama hal-hal yang berbau mistis dan magic itu. Makanya saat aku mengutarakan alasan polisi terkait kasus yang kulaporkan, Bu Isah bisa dengan mudah membantahnya.

"Oya, Bi. Ngomong-ngomong, Mang Subur belum pulang ya?" tanyaku saat sama sekali tak kujumpai sosok laki-laki yang kumaksud itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun