Mohon tunggu...
Isa Alïmusa
Isa Alïmusa Mohon Tunggu... -

I walk like a cat on a hot tin roof. Cautiously. Some say it's easy, some say it's not. I think it's not. I do my best not to fall.\r\n\r\n"What is the victory of a cat on a hot tin roof? - I wish I knew... Just staying on it, I guess, as long as she can" \r\n(Tennessee Williams)\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Makan untuk Hidup? You Are What You Eat...

12 Agustus 2011   19:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:51 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12991788471689539536

[caption id="attachment_128709" align="alignnone" width="680" caption="Ilustrasi: Reuters"][/caption] Diskusi mengenai bahan pangan mulai mengarah ke pertanyaan moral. Dewasa ini, masalah pangan begitu kompleks karena terkait dengan etika dan moral. Cukup beralasan, karena sekarang begitu sulit menemukan makanan yang betul-betul sehat dan bertanggung jawab. Terlalu banyak ketidakjelasan dan kita tidak tahu lagi harus mengonsumsi apa. Urusan perut menjadi diskusi politik dan pertanyaan yang menyangkut moral seringkali diperdebatkan. Etiskah mengkonsumsi ikan-ikan yang terancam punah? Perlukah izin untuk mengembangbiakkan unggas di peternakan agribisnis diperpanjang? Apakah manusiawi menyediakan foie gras (hati angsa) di perayaan Natal? Kita sudah terobsesi dengan makanan dan selalu kritis bertanya tentang segi positif maupun negatif terkait bahan pangan. Konsep kita terhadap satu makanan pun seakan berubah tiap jam. Dunia pangan penuh kontradiksi. Lebih dari satu miliar orang menderita kelaparan dan jumlah yang sama harus berjuang dengan obesitas. Berita tentang hewan peliharaan yang mati karena keracunan produk makanan kaleng dari pasar swalayan lebih disorot daripada tewasnya serdadu di Irak. Penduduk di Afrika bergelut dengan malnutrisi, di belahan dunia lain orang kolektif mengubah lahan pertanian untuk bahan bakar alternatif. Seperti dibangunkan oleh problematika kehidupan modern-di antaranya pertumbuhan ekonomi, polusi lingkungan, dan pemanasan global bumi-konsumen mulai mencari bahan pangan yang 'dapat dipertanggungjawabkan'. Salah satunya produk organik. Fair Trade adalah contoh organisasi internasional yang mendukung kegiatan pertanian organik di negara-negara berkembang. Di Amerika dikenal locavores. Pengikut kelompok ini hanya mengonsumsi produk yang didapat di sekitar tempat tinggal mereka. Locavores dianggap salah satu variasi Slow Food, gerakan yang mengkampanyekan baik hak konsumen maupun kepedulian akan lingkungan. Slow Food juga menekankan bahan pangan yang diproduksi secara tradisional dari daerah lokal. Namun, gerakan-gerakan tersebut juga memunculkan dilema baru. Apakah sayur-mayur organik yang diimpor dari Mesir itu baik atau malah mencemarkan lingkungan karena diangkut dengan pesawat? Buah alpukat dari Afrika Selatan dengan label Fair Trade banyak memberikan keuntungan bagi petani di sana, tetapi jarak yang harus ditempuh buah itu dari produsen ke piring seorang konsumen cukup merugikan. Jarak ini sering disebut food miles. Anda pilih mana: apel organik dari Selandia Baru atau jenis non-organik dari perkebunan di Malang? Tomat yang dibudidayakan di tanah pertanian Puncak atau saingannya dari Lampung yang didistribusikan dengan truk pengangkut barang? Kita berpikir telah membeli produk yang terjamin kualitasnya. Misalnya sebotol minyak zaitun dari daerah Toscana di Italia seharga 30 dolar. Bukankah lebih baik membeli produk yang lebih murah dan menyumbangkan sisa uangnya ke negara-negara yang membutuhkan. Makan menjadi ajang pertempuran etika. Produk pangan tradisional bersaing dengan perusahaan-perusahaan raksasa di industri tata boga. Yang lebih pelik, 'perang' di industri pangan ini cukup membingungkan konsumen. Tidak ada lagi batasan kawan dan lawan. Perusahaan es krim Ben & Jerry's diambil alih oleh Unilever dan Bodyshop bergabung dengan l'Oréal. Di Belanda, perusahaan daging organik Groene Weg (The Green Way) diakuisisi oleh Vion, salah satu produsen daging olahan yang memiliki peternakan intensif non-organik. Ada semacam pergeseran dari value for money ke values for money, kendati  banyak perusahaan besar masih sangat berhati-hati. Mereka khawatir perkembangan ini hanya sekedar tren. Aktivitas makan selalu dikaitkan dengan moral, meski persepsi seseorang mengenai apa yang baik dan buruk konstan berubah. Dulu, setelah perang berakhir di Eropa, orang berlomba-lomba mengejar kemakmuran. Ayam panggang di atas meja dan mobil di garasi menjadi impian penduduk. Sebaliknya, di tahun 70-an banyak bermunculan gerakan anti konsumerisme. Generasi flower power sengaja makan sisa-sisa dan 'sampah' supermarket sebagai protes terhadap masyarakat yang hidup berlebihan. Siapa sebetulnya yang berhak menentukan standar baik atau buruk itu? Kita tidak boleh hanya melihat dari perkembangan pasar. Pemerintah sepertinya hanya diam saja dan menutup mata. Amerika di satu pihak menghimbau penduduknya untuk mengurangi konsumsi lemak, tetapi di lain pihak mensubsidi jutaan dolar industri daging. Padahal, daging itu jelas-jelas sumber lemak jenuh maupun tak jenuh. Bukan tak mungkin bakal terjadi krisis pangan di masa depan. Industri pangan sangat tergantung dari minyak bumi. Pupuk dan pestisida dibuat dari sebagian produk oli, traktor beroperasi dengan mesin diesel, dan truk pengangkut barang juga menggunakan bahan bakar solar. Persediaan minyak bumi tidak tanpa batas, belum lagi akibat perubahan iklim global. Tampaknya, era makanan murah akan segera berakhir. Sebelum Perang Dunia II, sebuah keluarga di Eropa rata-rata menyisihkan sepertiga dari penghasilan mereka untuk bahan pangan. Kini, berkurang menjadi seperempat. Permintaan pasar terhadap daging-terutama di Cina-melonjak. Di samping itu, popularitas bahan bakar ethanol akan menyebabkan naiknya harga gandum dan jagung. Problem baru pun akan muncul. Untuk memproduksi satu tangki bensin ethanol diperlukan 200 kilogram jagung-setara dengan kalori yang dibutuhkan satu orang untuk hidup selama setahun. Boleh jadi, lahan pertanian berskala kecil dengan ternak sebagai pengganti traktor dan unggas berkeliaran di bawah pohon bakal in lagi. Manusia dipaksa untuk hidup sederhana. Pola makan akan berubah drastis: variasi segala jenis sayur-mayur dan konsumsi daging ditekan minimal. Lalu, bagaimana keluar dari 'lingkaran setan' ini? Barangkali kita dapat menyiasati problem dengan mengembangkan lahan pertanian siap tanam dan cepat panen di segala kondisi, sehingga kita dapat memproduksi bahan pangan masing-masing atau menolong orang lain. Tapi, apakah dunia menjadi lebih baik dengan 'solusi' ini? Arrgh, urusan perut justru bikin kepala cenut-cenut...

Amsterdam, 13 Agustus 2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun