Mohon tunggu...
Ikhsan Nurdin
Ikhsan Nurdin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Semester 5 Hubungan Internasional

Saya Mahasiswa Universita Darussalam Gontor, Siman, Ponorogo Hobi Berenang dan membuat orang lain tersenyum

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Meninjau Perang Etnis Muslim di Myanmar dengan Suku Rokhine (Kasus: Resolusi Konflik, Faktor Budaya, Sosial, atau Agama?)

29 September 2022   09:09 Diperbarui: 29 September 2022   09:15 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa yang kami temukan sangat mengejutkan, baik dari segi jumlah orang yang anggota keluarganya meninggal akibat kekerasan maupun dalam hal laporan tentang cara mengerikan para korban terbunuh atau terluka parah. Direktur medis perbatasan. Sydney Wong.Wong menambahkan: "Jumlah korban tewas mungkin diremehkan karena penelitian ini tidak mencakup semua pengungsi yang tinggal di Bangladesh." Selain itu, tidak ada wawancara yang dilakukan dengan keluarga Rohingya yang gagal melarikan diri dari Myanmar. Muslim Rohingya, yang tinggal terutama di Negara Bagian Rakhine, tidak pernah diakui sebagai warga negara Myanmar karena dianggap sebagai imigran ilegal dari Bangladesh. Pemerintah Myanmar juga tidak pernah menyebut mereka Rohingya, melainkan Muslim Bengali.

RESOLUSI KONFLIK YANG DI TAWARKAN

Resolusi Konflik dalam penulisan ini berdasarkan kacamata pandang Realis yang di implementasikan pada saat ini namun, pada dasarnya simpati dan empati publik belum diterjemahkan ke dalam beberapa bentuk keadilan dan perdamaian bagi orang-orang Rohingya. Indonesia, sebagai warga negara mayoritas Muslim, apalagi organisasi internasional, hanya bisa membela diri dengan kesepakatan forum dan dokumen belaka. Tapi itu jauh lebih baik daripada tidak ada jawaban sama sekali. Penting untuk memetakan isu konflik yang muncul di antara kelompok etnis Rohingya dengan memahami tiga faktor yang mendorong konflik:

Pertama, faktor budaya. Pengaruh budaya suatu negara sangat menentukan karakter dan ideologinya. Dalam konteks budaya Burma, mereka diyakini menjunjung tinggi budaya Burma Burmaseisasi ini mengikuti pola satu bahasa, satu bangsa, mirip dengan pola budaya yang berkembang di Indonesia. Namun, implementasi budaya Myanmar saat ini terkesan mendasar dan anarkis. Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai warga negara karena ini berarti Myanmar tidak menginginkan budaya lain selain miliknya.

Kedua, faktor ekonomi politik. Wilayah Rakhine adalah bagian dari Negara Bagian Myanmar (SDA) dengan potensi sumber daya alam, rumah bagi sekitar satu juta Muslim Rohingya, tetapi mayoritas penduduk Rakhine sebagian besar tetap pekerja lepas dan miskin. Situasi ini menempatkan penduduk Burma yang dipengaruhi Burma dalam persaingan dengan pekerja dari komunitas Muslim Rohingya. Hal ini dapat dijadikan asumsi dasar dalam menentukan faktor-faktor pemicu konflik Rohingya.

Ketiga, faktor agama. Dari sudut pandang politik, ajaran Buddha dalam beberapa hal sangat berbeda dari ajaran Islam. Jika menyangkut Muslim Rohingya, di mana ada Muslim, tentu akan ada dharma dan simbol-simbol yang bersifat sosial-politik dan bertentangan dengan ajaran Buddha Myanmar. Wajar saja jika kedua kubu tersebut akan berperang mengatasnamakan ajaran agamanya masing-masing. Oleh pihak Burma atas nama agama Buddha dan nasionalisme, oleh pihak Muslim Rohingya atas nama Jihad Phisabilillah (Berjuang di Jalan Allah).

Berdasarkan ketiga faktor penyebab konflik di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk mengatasi konflik Rohingya membutuhkan pendekatan budaya, ekonomi, politik dan agama. Faktanya, tidak ada konflik yang tidak dapat diselesaikan. Apakah konflik diselesaikan tergantung pada pendekatan strategi resolusi konflik yang dibuat. Tulisan ini bukan spekulasi atau retorika, melainkan konsep yang membuktikan bentuk-bentuk perdamaian, seperti peristiwa perdamaian di Bangladesh, Timor-Leste, Ambon, Poso dan Aceh, kenapa tidak? (Muh.Zein Abdullah, 2017).

Memahami konflik Rohingya bukanlah tugas yang mudah. Karena dalam hal ini mengolok-olok peran elit politik internasional yang tidak peduli dengan HAM umat Islam. Tak satu pun dari kecaman yang ambisius dan emosional seperti dalam serangan tahun 2001 di World Trade Center (WTC). menyalahkan pelaku. Namun, tidak demikian dengan warga Rohingya yang telah menelan banyak korban jiwa dalam dua kasus tersebut. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konspirasi politik Muslim global tidak berdaya jika tidak ada solusi konkrit untuk menyelesaikan konflik Rohingya. Bahkan kekuatan politik umat Islam saat ini tidak berbanding lurus dengan jumlah jemaah haji tahun 2017. Ini karena umat Islam saat ini mengalami begitu banyak diskriminasi kemanusiaan. Fakta ini dapat dipahami dari kasus Palestina dan Rohingya (Rahman, 2015).

Tanggung jawab penyelesaian sengketa di Myanmar tidak semata-mata terletak pada Myanmar dan negara-negara ASEAN, tetapi merupakan tanggung jawab bersama dan beberapa tanggung jawab. Masalah ini erat kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan dan agama serta kedaulatan bangsa. Tentu saja, ini membutuhkan prosedur dan tindakan hukum internasional yang bijaksana untuk memastikan kedaulatan negara Myanmar dan memastikan keadilan bagi Muslim Rohingya. Seperti kata bijak Aceh, uleu beu matee, ranteeng beekbroken artinya melaksanakan strategi resolusi konflik harus berpijak pada nilai-nilai politik dan profesionalisme.

RESOLUSI DALAM KACA POHON KONFLIK

Daun Konflik: Pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya, diskriminasi budaya oleh pemerintah, Rohingya Bengali tidak dapat diterima oleh penduduk Asli Burma, Pemerkosaan Ma Thida Twe dan pembakaran massal rumah-rumah Rohingya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun