Mohon tunggu...
Muhammad Ali Husein
Muhammad Ali Husein Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Fisip Unsoed

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bantahan Akan Alasan Pemerintah Mengurangi Subsidi BBM

12 Juni 2013   01:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:10 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, tidak hanya bertambahnya anggaran Rp 40 T di subsidi, defisit di APBN juga bertambah yang semula defisit APBN sebesar Rp 153,3 T, namun di APBN-P 2013 defisit mencapai Rp 233,7 T. Hal ini terjadi bukan karena penambahan subsidi BBM di APBN-P, karena jelas bahwa penambahan subsidi BBM hanya Rp 16,1 T.

Hal ini teradi karena penurungan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 53,7. Pagu penerimaan pajak di APBN 2013 adalah Rp 1.193 T, namun di APBN-P berkurang menjadi Rp 1.139,3 T. Selain terjadi defisit karena berkurangnya penerimaan perpajakan, penyebab lainnya adalah akibat dari bertambahnya Belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp 38,9 T. Belanja Pemerintah Pusat di APBN 2013 adalah Rp 1.154.4 T, namun bertambah menjadi Rp 1.193,3 T di APBN-P, yang mana Rp 30 T nya digunakan untuk membiayai kopensasi kenaikan harga BBM -BLSM, dll-.

Ketiga, data dari FITRA (Fdorum Independen Untuk Transparansi Anggaran) menyebutkan ketersediaan SAL (Saldo Anggaran Lebih) yang merupakan akumulasi dari SiLPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) masih tersedia Rp 56,1 T. Ketersediaan SAL ini masih cukup untuk menutupi kenaikan subsidi BBM sebesar Rp 16,1 T, jadi Pemerintah tidak perlu repot-repot menganggarkan Rp 30 T untuk kompensasi kenaikan harga BBM karena masih ada dana SAL, malahan anggaran kompensasi BBM malah hanya memberatkan APBN dengan menambah nominal defisit.

Keempat, dengan dikuranginya subsidi BBM, maka berdampak pada harga barang-barang kebutuhan pokok dan bahan baku produksi. Hal ini memabuat asumsi dasar makro Indonesia berubah sehingga mempengaruhi APBN. Fakta yang terjadi adalah inflasi yang pada APBN diasumsikan sebesar 4,9% pada tahun 2013, meningkat tajam menjadi 7,2% di APBN-P 2013.

Naiknya inflasi yang tinggi ini merubah asumsi makro Indonesia sehigga pertumbuhan ekonomi yang di APBN awalnay sebesar 6,8% pada tahun 2013, dalam APBN-P menurun menjadi 6,2%. Padahal, kenaikan dan penurunan 1% dalam asumsi makro pertumbuhan ekonomi sangat berdampak pada kehidupan 450.000 tenaga kerja, yang dalam APBN-P 2013 dijelaskan bisa mendapat atau kehilangan lapangan pekerjaan.

Kelima, Pemerintah tidak boleh menurunkan pendapatan negara dari sektor pajak, karena bisa berdampak besar ke APBN, mengingat pendapatan negara terbesar berasal dari pajak. Apalagi penurunan pajak di APBN-P sebesar Rp 53,7 T sehingga berdampak pada penurunan pendapatan negara sebesar Rp 53,7 T di APBN-P. Hingga kini Pemerintah belum memberika alasan rasional mengapa pendapatan negara dalam sektor pajak dikurangi dalam APBN-P 2013.


Keenam, Pengurangan subsidi BBM adalah kegagalan Pemerintah dalam mengelola kuota BBM. Fakta di dunia internasional tidak ada fluktuasi harga minyak dunia yang bisa berdampak besar ke aumsi makro Indonesia, jadi logikanya tidak perlu mengurangi subsidi BBM.

Pengurangan subsidi BBM pada tahun 2008 disebabkan karena krisis global yang berdampak ke fluktuasi harga minyak global sehingga berdampak ke Indonesia, namu tahun 2013 kini tidak ada fluktuasi harga minyak dunia, jadi jika Pemerintah ingin mengurangi subsidi BBM itu adalah murni kegagalan Pemerintah dalam mengelola kuota subsidi, karena faktanya tidak ada fkultuasi harga minyak global yang mengharuskan subsidi dikurangi.

Ketujuh, Pemerintah tidak serius merevitalisasi sumur-sumur minyak yang ada di Indonesia. Asalan mengapa lifting minyak menurun dari 900rb barel/ hari menjadi 840rb barel/hari di APBN-P adalah karena menurunnya produksi minyak dari sumur-sumur tua. Sumur-sumur yang ada telah berkurang produktivitasnya sehingga mengurangi lifting minyak, hal ini berdampak ke asumsi makro sehingga mempengaruhi APBN.

Kedelapan, Pemerintah tidak serius dalam membangun kilang minyak di Indonesia. Selama ini Indonesia sebagai negara produsen setelah melakukan produksi minyak lalu minyak tersebut diekspor ke Singapura sebagai negara makelar minyak untuk dilakukan proses refinery dan distilasi bertingkat di kilang minyak Singapura agar menciptakan minyak siap pakai. Lalu setelah diolah dalam kilang minyak Singapura, Indonesia membeli kembali minyaknya yang telah diekspor ke Singapura dengan harga impor yang sudah pasti lebih mahal. Indonesia sebagai negara produsen namun tidak memiliki banyak kilang minyak olahan cukup menjadi pertanyaan besar, karena Singapura bukan dikategorikan sebagai negara produsen minyak, namun pendapatannya dari minyak cukup besar karena memiliki kilang minyak.

Berdasarkan data dari Dr. Ichsanuddin Noorsy, kapasitas kilang nasional Indonesia adalah 1.157 rb barel/hari dengan kema,puan produksi BBM sebesar 704 rb barel/hari. Namun Indonesia meskipun disebut sebagai negara produsen minyak, namun belum memiliki kilang minyak dengan kapasitas baik, tercatat bahwa kilang miyak terbaru di Indonesia adalah kilang minyak Balongan dengan kapasitas 125 rb barel.hari yang dibangun pada tahun 1995.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun