Kalau kita bicara soal mahasiswa teknik elektromedik, biasanya yang langsung muncul di kepala adalah solder, osiloskop, blok diagram, atau alat-alat medis yang harganya ratusan juta. Semua hal itu memang identik dengan dunia elektromedik. Tapi, ada satu hal penting yang sering luput dari perhatian: soft skill.
Banyak orang berpikir kalau sudah jago di laboratorium, hafal fungsi setiap komponen, dan bisa memperbaiki alat medis yang rumit, maka masa depan pasti aman. Sayangnya, kenyataannya tidak sesederhana itu. Dunia kerja menuntut lebih dari sekadar kecerdasan teknis. Tenaga elektromedis harus bisa beradaptasi, mampu bekerja sama dengan tim medis, pintar mengatur waktu, bahkan bisa mempresentasikan hasil kerja dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh dokter dan perawat. Inilah yang membuat soft skill menjadi semacam "senjata rahasia".
Belajar Mengelola Diri: Intra Personal Skill
Kehidupan mahasiswa teknik elektromedik itu padat: kuliah teori, praktikum, laporan yang seakan tidak ada habisnya, belum lagi tugas proyek yang menuntut kreativitas. Dalam kondisi seperti itu, kemampuan mengelola diri benar-benar diuji.
Mengatur waktu adalah salah satu tantangan utama. Ada mahasiswa yang rela begadang demi menyelesaikan laporan praktikum, tapi besoknya masuk lab dengan wajah kusut dan akhirnya tidak fokus saat praktik kalibrasi alat. Ada juga yang terlalu santai, menunda-nunda tugas, hingga akhirnya kewalahan sendiri. Nah, mahasiswa yang punya keterampilan time management biasanya lebih tenang. Mereka tahu kapan harus fokus belajar datasheet, kapan harus menulis laporan, dan kapan harus istirahat.
Selain itu, stres adalah teman akrab mahasiswa elektromedik. Bayangkan, sedang ujian praktik alat EKG, tiba-tiba alatnya eror. Kalau tidak bisa mengendalikan emosi, pasti panik. Tapi mahasiswa yang sudah terbiasa mengelola stres biasanya bisa menenangkan diri, berpikir jernih, dan akhirnya menemukan solusi.
Yang tidak kalah penting adalah keberanian untuk berubah. Dunia medis terus berkembang, dari sistem analog ke digital, dari mesin manual ke mesin berbasis IoT. Kalau masih terjebak pada pola pikir lama, kita akan tertinggal. Mahasiswa yang mau mengubah keyakinan dan karakternya ke arah yang lebih positif biasanya lebih siap menghadapi perubahan. Ditambah dengan kreativitas dan semangat untuk belajar cepat, mereka jadi jauh lebih unggul dibanding yang hanya belajar apa adanya.
Bekerja Sama dengan Orang Lain: Inter Personal Skill
Di lapangan kerja, teknisi elektromedik tidak mungkin bekerja sendirian. Ada dokter, perawat, pasien, bahkan vendor alat kesehatan yang ikut terlibat. Maka kemampuan berhubungan dengan orang lain jadi penentu.
Coba bayangkan ketika sebuah ventilator rusak di ICU. Situasi tegang, dokter panik karena pasien bergantung pada alat itu. Seorang teknisi elektromedik yang tidak pandai berkomunikasi mungkin hanya sibuk dengan alat tanpa memberi penjelasan, sehingga membuat dokter semakin cemas. Sebaliknya, teknisi yang punya komunikasi baik akan menenangkan suasana dengan memberi penjelasan singkat, "Tenang, Dok, butuh waktu 10 menit untuk mengecek sistem. Sementara itu bisa gunakan ventilator cadangan." Kalimat sederhana itu saja sudah bisa meredakan ketegangan.
Begitu juga dengan leadership. Tidak harus jadi pemimpin resmi, tapi saat bekerja dalam tim, kemampuan mengarahkan teman, memotivasi, dan mengambil keputusan cepat sangat berarti. Presentasi juga tidak bisa dihindari. Laporan hasil kalibrasi kadang harus dipaparkan ke manajemen rumah sakit, yang tentu tidak semuanya paham istilah teknis. Maka, kemampuan menjelaskan dengan bahasa sederhana adalah kunci.
Bahkan kemampuan membangun hubungan baik dengan tim medis bisa sangat membantu. Dokter dan perawat akan lebih kooperatif kalau sudah percaya dengan teknisi. Hubungan ini yang seringkali membuat pekerjaan lebih lancar.
Melihat Lebih Jauh: Extra Personal Skill
Kalau intra personal fokus ke diri sendiri, dan inter personal fokus ke hubungan dengan orang lain, maka extra personal skill adalah tentang bagaimana kita mengelola lingkungan yang lebih luas.
Rumah sakit penuh dengan alat medis bernilai miliaran rupiah. Semua alat itu adalah aset. Tugas teknisi bukan hanya memperbaiki, tapi juga memastikan alat terdata, dirawat, dan siap digunakan kapan pun. Itulah yang disebut pengelolaan aset. Tidak kalah penting adalah kesiapan menghadapi perubahan regulasi dan standar kesehatan. Kementerian Kesehatan bisa saja memperbarui aturan kalibrasi atau perawatan alat. Seorang tenaga elektromedis yang siap dengan perubahan ini tidak akan kaget.
Dan tentu saja, masa depan tidak bisa diabaikan. Kita sudah masuk ke era digitalisasi, di mana banyak alat medis mulai terhubung dengan internet. Bayangkan kalau teknisi masih gagap teknologi, pasti akan tertinggal. Extra personal skill membantu mahasiswa untuk berpikir jauh ke depan, bukan hanya tentang apa yang ada di depan mata.
Penutup: Hard Skill Penting, Soft Skill Penentu
Menjadi mahasiswa teknik elektromedik memang identik dengan dunia alat kesehatan dan elektronik. Tapi percayalah, itu hanya separuh dari cerita. Separuh lainnya adalah bagaimana kita mengelola diri, membangun hubungan dengan orang lain, dan menyiapkan masa depan.
Soft skill bukan sekadar pelengkap. Ia adalah penentu apakah seorang teknisi hanya sekadar "tukang reparasi alat" atau benar-benar menjadi tenaga elektromedis profesional yang dihargai di dunia kerja. Jadi, mulai sekarang jangan hanya sibuk dengan solder, blok diagram, atau manual book. Latih juga soft skill-mu. Karena ketika keduanya bersatu---hard skill dan soft skill---itulah saatnya mahasiswa elektromedik benar-benar siap menghadapi dunia nyata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI