Mohon tunggu...
Alifiah Vira Nur Agustin
Alifiah Vira Nur Agustin Mohon Tunggu... Lainnya - .......

99'

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Fenomena Kotak Kosong dalam Pilkada Calon Tunggal Kabupaten Wonosobo 2020

18 Januari 2021   12:57 Diperbarui: 18 Januari 2021   13:14 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mereka khawatir transparansi di Wonosobo terganggu jika calon tunggal memenangi pilkada. Sebab, koalisi yang didukung banyak partai tersebut akan berujung pada praktik politik transaksional, seperti membagi-bagikan proyek.[4] Selain itu, kelompok pendukung kotak kosong ini terus berusaha untuk mensosialisasikan kotak kosong kepada calon pemilih. Tujuannya ialah agar calon pemilih mengetahui ada kotak kosong yang sah dipilih secara konstitusi. 

Mekanisme kotak kosong sendiri merupakan sebuah alternatif agar tetap ada kontestasi dalam pilkada yang hanya memiliki calon tunggal. Pada awalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan dengan mekanisme kotak kosong dan menyetujui adanya mekanisme referendum, yaitu dengan mengisi kolom "setuju" atau "tidak setuju". 

MK melihat bahwa esensi dari sebuah kontestasi suatu pemilihan tidak boleh terbelenggu oleh minimnya pasangan calon yang mendaftar dalam pilkada dan tidak dapat ditunda. Pada saat itu, MK tidak sependapat dengan penerapan uncontested elections, seperti yang diterapkan di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Singapura yang menerapkan prinsip aklamasi dengan tanpa melibatkan suara rakyat. 

Dengan demikian, kontestasi diwujudkan ke dalam pilihan setuju dan tidak setuju tersebut. Kemudian pada pilkada serentak tahun 2017, ketentuan mengenai referendum ini diubah dengan aturan bahwa pemilihan satu pasangan calon dilaksanakan dengan menggunakan surat suara yang memuat dua kolom yang terdiri atas satu kolom memuat foto pasangan calon dan satu kolom kosong tidak bergambar. Dari sinilah kemudian, munculah mekanisme penggunaan kotak kosong untuk menampung suara pemilih yang mencoblos kolom kosong yang tidak bergambar tersebut. 

Sistem ini dirancang untuk melahirkan sebuah kontestasi, namun faktanya kotak kosong sebetulnya adalah sebuah objek yang semu, karena dia bukan peserta pilkada. Penggunaan kotak kosong ini hanya dipersiapkan untuk tetap menjaga adanya kontestasi sebagai syarat demokrasi.[5] Pemilih dapat menentukan pilihan antara memilih pasangan calon dan kotak kosong. Jika calon tunggal tidak sesuai dengan pilihan pemilih, maka dapat dicoblos gambar kotak kosong, memilih kotak kosong juga tidak sama dengan golongan putih (golput).

Kemudian untuk mekanisme penentuan kemenangan calon tunggal telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang. 

Dalam Pasal 54D diatur, pemenang pilkada dengan calon tunggal harus memperoleh suara lebih dari 50 persen suara sah. Apabila suara yang diperoleh tidak mencapai lebih dari 50%, maka pasangan calon yang kalah boleh mencalonkan lagi dalam pemilihan berikutnya.[6] 

Sedangkan dalam pasal 25 ayat 1 PKPU Nomor 13 Tahun 2018 disebutkan bahwa apabila perolehan suara pada kolom kosong lebih banyak dari perolehan suara pada kolom foto pasangan calon, KPU menetapkan penyelenggaraan pemilihan kembali pada pilkada periode berikutnya. Sementara di ayat (2) disebutkan "Pemilihan serentak berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sebagaimana jadwal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."[7] 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh LIPI ada beberapa faktor terkait dengan fenomena pasangan calon tunggal pada pilkada serentak. Pertama, keberadaan calon tunggal sebagai akibat dua pihak yang saling berkepentingan, yaitu petahana dan partai politik. Dimana petahana berkepentingan untuk menjaga status quo, tetap berkuasa dengan cara menjegal saingan lewat "borong partai". Sedangkan partai politik berkepentingan untuk menang atau mendompleng petahana karena memiliki elektabilitas yang tinggi. 

Kedua, partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya.[8] Partai politik mestinya malu dengan pilkada yang hanya menampilkan calon tunggal. Karena seperti yang kita ketahui pula bahwa fenomena calon tunggal melawan kotak kosong ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Fenomena ini dapat menjadi cerminan atas menguatnya sikap politik pragmatis partai di Indonesia.

Ketiga, keberadaan calon tunggal tidak terlepas dari beratnya persyaratan untuk menjadi kandidat, baik melalui jalur partai politik maunpun jalur perseorangan (independen). Akhirnya bagi mereka yang ingin maju menjadi calon kepala daerah harus mengeluarkan biaya yang besar. Dengan kata lain, pilkada hanya disediakan bagi mereka yang memiliki dukungan dana besar. Hal inilah yang menyebabkan orang-orang yang memiliki kredibilitas dan kapasitas sebagai calon pemimpin kepala dearah terkadang tidak memiliki kesempatan untuk ikut dalam kontestasi tersebut. Keempat, pragmatisme partai politik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun