"Buruh dan tani harus bersatu! Mereka yang menciptakan kekayaan dunia, jangan biarkan keringatmu jadi pupuk kekuasaan tuan-tuan modal," tulisnya. Kata-kata itu bukan nostalgia, tetapi kompas. Penunjuk arah di tengah kabut kebijakan yang menindas dan politik yang sering lupa rakyatnya. Ia menanamkan kesadaran bahwa pembebasan rakyat hanya lahir dari keberanian melawan.
Di negeri yang mengaku demokratis, di mana kebebasan berpendapat konon dijunjung tinggi seperti bendera di tiang kemerdekaan, 1 Mei menjelma bukan sekadar tanggal melainkan cermin retak yang memantulkan kenyataan getir bangsa ini.
Hari itu menjadi momen refleksi, ketika rakyat yang bersuara tidak butuh lagi panggung megah, tapi telinga yang benar-benar mendengar. Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan, perpanjangan tangan kekuasaan, dan semestinya penyambung lidah rakyat, justru kerap duduk manis di kursi empuknya nyaman dalam diam, bisu dalam kewajiban, dan tuli terhadap jeritan yang menggema dari bawah.
Seolah-olah istana dan gedung parlemen telah dibangun dengan tembok yang terlalu tebal untuk ditembus suara perih rakyat kecil.
Sementara buruh mengencangkan ikat pinggang, dan mahasiswa menahan lapar akan keadilan, mereka di atas justru sibuk memoles janji, bukan memenuhi hak.
Ketimpangan bukan sekadar angka. Ia adalah luka. Dan setiap 1 Mei, luka itu dibacakan kembali dengan suara lantang di jalanan.
Kamis, 01 Mei 2025, aliansi mahasiswa dan buruh kembali bersatu. Mereka turun ke jalan dengan semangat membara, mengusung tuntutan yang lahir dari realitas: upah layak, jaminan kerja, akses pendidikan dan kesehatan yang merata, serta penghapusan sistem kerja yang eksploitatif.
Di tengah gegap gempita aksi dan suara peluit yang menggema di jalan-jalan ibu kota, mereka membawa satu pesan utama bahwa keadilan sosial bukan utopia, tapi hak yang harus diperjuangkan.
Aksi ini bukan sekadar bentuk protes. Ia adalah  seruan moral  yang tegas kepada para pemegang kebijakan bahwa rakyat Jogja menuntut perubahan nyata, bukan sekadar janji kosong. Bahwa di tengah kota budaya dan pendidikan ini, masih banyak buruh bergaji tak layak dan mahasiswa yang terpinggirkan oleh komersialisasi pendidikan.
May Day di Yogyakarta adalah panggilan untuk bertindak. Ia adalah momentum untuk menyuarakan bahwa keadilan sosial bukan hanya slogan manis di baliho, tetapi hak yang harus diwujudkan dalam kebijakan nyata.