Dengan Sejarah sebagai Saksi
Tulisan ini telah mengarungi bahtera waktu selama tiga dekade, tulisan ini berlayar bersama gelombang perjuangan, hingga tiba kembali di pelabuhan bernama May Day sebuah dermaga sejarah di mana suara-suara yang lama dibungkam kembali menggema dengan nyala yang tak bisa dipadamkan.
Dalam tiga dekade ini, sejarah tidak pernah diam. Ia bergerak bersama langkah kaki para buruh dan mahasiswa yang tak henti turun ke jalan, menyuarakan hak dan menantang kenyataan. May Day bukanlah seremoni tahunan yang kering makna. Ia adalah denyut nadi perlawanan, gema solidaritas lintas generasi, dan simbol bahwa mereka yang bekerja dengan tangan, hati, dan pikiran berhak atas hidup yang bermartabat.
May Day bukan pesta. Ia bukan panggung seremonial yang penuh pidato kosong. Ia adalah simbol perlawanan. Sebuah nyala yang lahir dari luka dan ketidakadilan, yang mengingatkan dunia bahwa di balik setiap gedung menjulang, ada tangan kasar yang jarang disapa. Di balik setiap laporan ekonomi yang membaik, ada dapur yang tetap kosong.
Sejarah mencatat, May Day lahir dari darah dan keberanian. Pada tahun 1886 di Chicago, ribuan buruh turun ke jalan menuntut pengurangan jam kerja menjadi delapan jam. Aksi itu memuncak dalam tragedi Haymarket ketika ledakan dan tembakan membungkam suara rakyat, menewaskan beberapa buruh dan polisi. Namun, dari tragedi itu tumbuh keberanian baru. Seorang tokoh buruh saat itu, August Spies, bahkan berkata sebelum dihukum gantung:
"Suatu hari akan datang saat keheningan kita lebih kuat daripada suara yang kalian bunuh hari ini."
Ia benar. Suara itu kini bergema di berbagai penjuru dunia setiap 1 Mei. Suara yang menuntut hak, suara yang mengingatkan: bahwa manusia bukan mesin, bahwa kerja harus dibayar dengan adil, dan bahwa martabat tak boleh dikorbankan demi keuntungan.
Kapitalisme mencoba menjinakkan hari ini membungkusnya dengan formalitas, mengurungnya dalam pagar-pagar polisi, dan mengaburkannya dengan diskon belaka. Namun semangat itu tetap hidup, membara dari masa ke masa. Ia hidup dalam suara yang menolak diam, dalam tubuh yang menolak tunduk, dalam pikiran yang menolak dibeli.
Di tanah air sendiri, kita mengenang Marsinah, buruh perempuan yang dibungkam karena keberaniannya memperjuangkan hak. Dan jauh sebelumnya, pemikiran revolusioner Tan Malaka mengakar dalam semangat perlawanan buruh dan rakyat.