Mohon tunggu...
Alifah Salma
Alifah Salma Mohon Tunggu... Lainnya - La tahzan

Life takes courage

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Sebuah Keikhlasan

14 Februari 2021   23:20 Diperbarui: 14 Februari 2021   23:43 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Yes! Akhirnya tidur nyenyak." jawabnya sambil tersenyum lebar.

"Makanya kalo ada tugas itu jangan SKS (Sistem Kebut Semalam). Jadi gak ada begadang begadangan." ceramah Syavia.

"Dududududu~" cuek Nazwa sambil bersenandung melihat langit sore yang cerah. "Jajan yuk? Nazwa laper asli." 

"Makan terus! Udah gendut udah gendut." ledek Asfiya.

Azkayla, Nazwa, Asfiya, Layina, dan Syavia adalah sahabatku dari kelas 10 SMA. Kita berenam sering berkumpul untuk bermain ataupun belajar kelompok. Kita berenam memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Namun hal itulah yang menjadi keseruan diantara kami.

Saat kedua kakiku menginjak lantai dingin berwarna putih serta tanganku menyentuh besi dingin berwarna coklat. Aku mendengar suara keributan dari arah dalam rumahku. Saling bertautannya suara pembicaraan kesal dari arah dalam yang membuat aku berhenti untuk melanjutkan langkahku. Sebenarnya tidak hanya sehari ataupun dua hari aku mendengar keributan ini. Tetapi saat ini aku benar-benar sudah bosan dan tidak ingin untuk mendengarnya. Ingin rasanya aku kembali berbalik badan dan pergi sejauh mungkin. Namun aku tidak tahu harus lari kemana. 

Aku pun menghela napas dan mengumpulkan keberanian untuk melangkah maju. Kemudian mengucapkan salam dengan semangat sambil tersenyum seperti layaknya tidak mengetahui apa-apa. Sontak mereka pun terdiam dan menyambutku. Setelah mencium kedua tangan mereka, aku pun segera masuk ke dalam kamar agar tidak menimbulkan pertanyaan yang membuat aku kembali kesal.

Mereka meributkan perekonomian keluarga yang entah mengapa tiba-tiba menjadi menurun. Dan hanya ibulah yang memikirkan semua itu, karena ibulah yang membayarkan sekolah dan kebutuhan lainnya dari gaji yang diberikan ayah. Ayah hanya memberikan uang gaji dan tidak mau tau akan kesulitan yang dialami ibu. Hanya ingin tau bahwa semuanya telah selesai dibayarkan. Mungkin saat ini ibu sudah tidak kuat untuk menahannya dan akhirnya meluapkannya.

Untuk saat ini aku benar-benar sangat ingin berada di rumah. Pusing dan penatku di sekolah sudah cukup membuat kepalaku pusing. Dan aku tidak ingin ditambah lagi. aku memutuskan untuk membersihkan badan dan belajar untuk menghilangkan kekesalan dan kepenatan. Namun kenyataannya aku tidak dapat fokus dan hanya bisa kesal dan memikirkan bagaimana kekesalan ayah pada ibu. Aku benar-benar kesal dan terheran, mengapa ayah harus kesal? Bukankah itu merupakan salah ayah?

~~~

Aku tidak bersemangat untuk bersekolah ataupun melakukan hal lainnya. Aku benar-benar sudah bosan mendengar perdebatan anatara mereka berdua. Namun, perdebatan tersebut terus terngiang-ngiang di kepalaku. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun