Memadukan Fikih Mu'amalah dengan  Ekonomi Modern: Membangun Sinergi dan  Kolaborasi
Oleh Ali Aminulloh
Pendahuluan
Konsep-konsep dalam fikih muamalah merupakan khazanah intelektual dan produk ijtihad para ulama mujtahid di masa lalu. Setiap fatwa, kaidah, dan rincian akad yang mereka rumuskan tidak lahir dari ruang hampa, melainkan sebagai respons langsung terhadap dinamika, tantangan, dan model transaksi yang ada pada konteks zaman mereka. Formulasi akad seperti salam, istishna', atau musyarakah adalah cerminan dari kebutuhan riil masyarakat agraris dan perdagangan sederhana pada masanya, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Qur'ani untuk memastikan keadilan dan menghindari eksploitasi. Dengan demikian, memahami fikih muamalah klasik berarti memahami sebuah sistem hukum ekonomi yang hidup dan relevan pada zamannya.
Namun, seiring berjalannya waktu, peradaban manusia melahirkan kompleksitas baru dalam berekonomi. Globalisasi, digitalisasi, dan munculnya instrumen keuangan yang rumit menciptakan realitas yang jauh berbeda dari masa para ulama terdahulu. Acapkali, ketika dihadapkan pada realitas ekonomi modern, beberapa konsep klasik terasa kurang sinkron jika diterapkan secara kaku dan harfiah. Oleh karena itu, kajian fikih muamalah kontemporer menuntut adanya interpretasi baru dan kontekstualisasi. Tujuannya bukan untuk mengubah prinsip-prinsip dasarnya yang abadi, melainkan untuk merumuskan ulang bentuk dan aplikasinya agar tetap relevan, fungsional, dan mampu menjadi solusi atas permasalahan ekonomi kekinian.
1. Prinsip-Prinsip Fikih Muamalah
Prinsip dasar yang menjadi fondasi seluruh transaksi dalam fikih muamalah adalah asas kebolehan (al-ashlu fil mu'amalah al-ibahah illa ma dalla dalilu 'ala tahrimiha), yang berarti semua bentuk muamalah pada dasarnya diperbolehkan kecuali ada dalil (nas) yang secara tegas melarangnya. Asas ini didukung oleh tiga pilar fundamental: Kerelaan (saling rida atau 'an taradhin minkum), yang memastikan tidak ada paksaan dalam bertransaksi; Keadilan (adil), yang menuntut kesetimbangan hak dan kewajiban serta melarang segala bentuk eksploitasi (zulm); dan Kemanfaatan (maslahah), di mana setiap transaksi harus mendatangkan kebaikan dan tidak merusak. Konsep harta (Maal) juga sentral, di mana harta yang ditransaksikan harus bernilai, dapat diserahterimakan, dan dimiliki secara sah. Kepemilikan (Milkiyah) diakui sebagai hak individu yang dilindungi, namun memiliki fungsi sosial dan tidak boleh digunakan untuk hal yang dilarang.
Dalam konteks ekonomi modern, prinsip-prinsip ini berfungsi sebagai kerangka etis dan regulatoris yang membedakan sistem ekonomi syariah dari sistem konvensional. Larangan utama terhadap Riba (bunga/tambahan yang disyaratkan), Gharar (ketidakpastian atau spekulasi berlebihan), dan Maysir (judi) menjadi filter utama dalam rekayasa produk keuangan. Larangan riba mendorong pengembangan skema berbasis bagi hasil dan jual beli. Larangan gharar menuntut adanya transparansi, standardisasi, dan kejelasan objek akad, yang sangat relevan dalam mitigasi risiko di pasar derivatif dan asuransi. Sementara itu, larangan maysir menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus berbasis pada sektor riil yang produktif, bukan spekulasi finansial semata yang dapat menciptakan bubble economy.
2. Murabahah dan Sharf
Murabahah secara fikih adalah akad jual beli di mana penjual secara transparan memberitahukan harga perolehan barang dan menambahkan margin keuntungan (ribh) yang disepakati bersama. Rukun utamanya meliputi penjual (ba'i), pembeli (musytari), objek jual beli (mabi'), harga (tsaman), dan ijab kabul (sighat). Syarat utamanya adalah barang harus dimiliki sepenuhnya oleh penjual sebelum dijual kepada pembeli, dan margin keuntungan harus jelas di awal. Esensi dari Murabahah adalah jual beli, bukan pinjaman, sehingga ia termasuk dalam kategori akad jual beli amanah (buyu' al-amanah).
Dalam implementasinya di perbankan syariah modern, Murabahah menjadi produk pembiayaan yang paling dominan, terutama untuk pembiayaan konsumtif (kendaraan, elektronik) dan modal kerja. Mekanismenya, nasabah mengajukan pembiayaan untuk suatu barang, bank syariah kemudian membeli barang tersebut dari pemasok, dan setelah kepemilikan berpindah ke bank, barang tersebut dijual kepada nasabah dengan harga tangguh (harga beli bank + margin keuntungan). Skema ini secara substansial menggantikan fungsi kredit atau pinjaman berbunga. Sementara itu, Sharf atau jual beli valuta asing diatur dengan ketat untuk menghindari unsur riba. Kaidahnya adalah pertukaran harus dilakukan secara tunai (taqabudh) atau spot, di mana tidak ada penundaan penyerahan mata uang untuk menghindari spekulasi dan riba nasi'ah.