Kedua, kesadaran ekologis. Syaykh menegaskan bahwa manusia bukan penguasa, melainkan bagian dari alam semesta. "Manusia bukan pemimpin alam, tapi bagian dari semesta. Maka ia harus menjaga, bukan merusak." Pendidikan yang tidak memiliki kesadaran ekologis akan melahirkan pembangunan yang merusak bumi: kampus tanpa ruang hijau, ekonomi tanpa etika lingkungan, dan pertanian yang mengabaikan keseimbangan alam.
Ketiga, kesadaran sosial. Menurut beliau, pendidikan yang sejati harus melahirkan manusia mandiri, bukan bergantung pada sistem. Mandiri bukan berarti nekat, tapi mampu hidup dengan keberanian dan kemampuan diri. "Orang mandiri itu berani hidup," ucapnya. Mereka tidak menunggu pekerjaan, tetapi menciptakan pekerjaan. Dalam pandangan Syaykh, pendidikan modern terlalu mencetak pegawai, bukan pemilik usaha. Pendidikan kontemporer harus melahirkan pencipta lapangan kerja, bukan pencari kerja.
Ketiga kesadaran ini --- filosofis, ekologis, sosial --- menjelma sebagai wajah baru pendidikan yang tidak hanya mencerdaskan otak, tapi juga membangunkan jiwa.
Politeknik dan Revolusi Praksis: Pendidikan yang Menyentuh Tanah dan Kehidupan
Dari teori menuju praksis, Syaykh Al-Zaytun mengarahkan pandangan pada pendirian Politeknik Al-Zaytun, sebagai laboratorium nyata pendidikan kontemporer. Politeknik bukan sekadar lembaga keterampilan, tetapi tempat mengubah ilmu menjadi karya, dan pengetahuan menjadi penghidupan.
"Politeknik harus mendidik mahasiswa agar bisa menjadi bos, bukan hanya menjadi pegawai," tegasnya. Politeknik versi Al-Zaytun dirancang untuk menyatukan ilmu, praktik, dan kemandirian. Di sini, pertanian tidak sekadar teori dalam buku, tapi kegiatan hidup sehari-hari. Lahan luas menjadi ruang belajar ekologis --- bukan beton yang menyingkirkan tanah, melainkan tanah yang menghidupi manusia.
Dalam pandangan Syaykh, politeknik menjadi bentuk konkret dari pendidikan kontemporer: pendidikan yang mempersiapkan manusia hidup 24 jam secara mandiri, sadar alam, sadar sosial, dan sadar tujuan hidupnya. "Pendidikan yang menjemput kemajuan bukan hanya ada di kelas, tapi juga di sawah, bengkel, laboratorium, dan kebun," ujarnya.
Dengan cara ini, Al-Zaytun menegaskan bahwa transformasi pendidikan tidak bisa hanya berhenti di seminar, tapi harus diwujudkan dalam sistem hidup yang nyata --- berakar, bernafas, dan berbuah.
Novum Gradum: Lompatan Baru dari Al-Zaytun untuk Dunia Pendidikan
Dalam dialognya yang hangat dengan peserta, Syaykh Panji Gumilang memperkenalkan gagasan "Novum Gradum" --- lompatan baru dalam dunia pendidikan. Istilah ini lahir dari tradisi filsafat Barat yang pernah mengenal Organon (Aristoteles) dan Novum Organum (Francis Bacon). Namun, Syaykh menambahkan satu bab baru dalam sejarah intelektual dunia: Novum Gradum Panji Gumilang.