Damailah di Bumi: Rekonstruksi Etika Kemanusiaan dan Ekologi dalam Perspektif Islam dan Humanisme Modern"
Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom., M.Sos.
Seruan "Damailah di bumi" bukan sekadar ungkapan spiritual yang melankolis, tetapi merupakan panggilan moral, sosial, dan ekologis yang berakar pada etika kemanusiaan universal. Dalam konteks modern yang diwarnai konflik identitas, krisis lingkungan, dan ketimpangan sosial, kalimat ini memerlukan pembacaan ulang yang lebih rasional dan ilmiah. Damai di bumi bukan hanya cita-cita moral, melainkan kebutuhan peradaban.
1. Damai sebagai Fondasi Teologis dan Rasional
Dalam teologi Islam, kedamaian bukanlah konsep periferal. Kata Islam sendiri berasal dari akar kata s-l-m yang berarti damai, selamat, dan menyerahkan diri kepada kebenaran. Menurut al-Ghazali (Ihya' Ulum al-Din, Jilid IV), hakikat kedamaian adalah keadaan di mana manusia menundukkan egonya kepada kebaikan ilahi, sehingga tidak lagi dikuasai oleh hawa nafsu yang menimbulkan permusuhan.
Dari perspektif rasional-humanistik, Immanuel Kant dalam Perpetual Peace (1795) juga menegaskan bahwa perdamaian abadi hanya dapat dicapai melalui kesadaran moral universal dan rasionalitas hukum antarbangsa. Baik Islam maupun filsafat modern sama-sama menekankan bahwa damai adalah produk dari kesadaran rasional dan spiritual, bukan hasil paksaan politik semata.
2. Krisis Kemanusiaan dan Hilangnya Nur Nurani
Konflik global dan lokal hari ini menunjukkan degradasi nilai kemanusiaan. Perang di berbagai belahan dunia, kekerasan atas nama agama, hingga disintegrasi sosial di media digital adalah bukti bahwa manusia gagal berdamai dengan dirinya sendiri. Dalam kerangka psikologis, Erich Fromm dalam The Anatomy of Human Destructiveness menjelaskan bahwa kekerasan bersumber dari alienasi batin - manusia yang kehilangan rasa cinta dan makna hidup akan mudah menghancurkan sesamanya.
Islam sendiri menegaskan bahwa sumber perdamaian adalah hati yang bersih (qalbun salim). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Asy-Syu'ara: 89:
 "Kecuali orang yang datang kepada Allah dengan hati yang selamat."
Kedamaian eksternal tidak mungkin terwujud tanpa kedamaian internal. Karena itu, rekonstruksi moral menjadi langkah awal untuk memulihkan dunia yang penuh kebisingan batin ini.