Mengenal diri bukan sekadar menyadari keberadaan, melainkan menyadari bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Kehendak Ilahi. Kesadaran inilah yang memutus rantai keterikatan duniawi dan membuka ruang bagi kebebasan ruhani.
Sementara Jalaluddin Rumi menggambarkan kebebasan ruhani dengan bahasa cinta yang halus dan menggugah:
 " ."
"Ketika aku melepaskan apa yang aku miliki, aku menjadi apa yang seharusnya aku jadi."
Rumi menegaskan bahwa pembebasan bukan dengan menambah kepemilikan, melainkan dengan melepaskan keterikatan terhadapnya. Di saat hati tidak lagi tergantung pada dunia, di situlah jiwa menemukan sayapnya.
Dimensi Psikologis dan Qur'ani
Secara psikologis, kebebasan ruhani menumbuhkan inner peace (ketenangan batin) dan moral resilience (keteguhan moral). Manusia yang merdeka secara ruhani tidak mudah goyah oleh kehilangan, tekanan sosial, atau ketakutan masa depan, sebab sandarannya bukan lagi pada yang fana, melainkan pada Yang Kekal.
Al-Qur'an menggambarkan kondisi batin yang jauh dari Allah sebagai bentuk keterasingan eksistensial:
 " "
("Barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit." - Â QS. Thaha: 124)
Ayat ini menegaskan bahwa keterikatan duniawi yang berlebihan menjerumuskan manusia dalam kehampaan batin. Sebaliknya, kedekatan ruhani menuntun manusia menuju keluasan makna dan kebebasan sejati.