Mohon tunggu...
ALI AKBAR HARAHAP
ALI AKBAR HARAHAP Mohon Tunggu... Kader HMI

Buat video youtube

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kultus dan Fundamentalisme: Fanatisme Modern di Balik Wajah Keagamaan dan Politik

8 Oktober 2025   13:35 Diperbarui: 8 Oktober 2025   13:35 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kultus dan Fundamentalisme: Krisis Makna dan Pencarian Kepastian dalam Dunia Modern

Oleh: Ali Akbar Harahap, S.Kom, M.Sos

Pendahuluan

Fenomena kultus dan fundamentalisme merupakan dua wajah dari ekspresi keagamaan ekstrem di era modern. Keduanya mencerminkan kegelisahan spiritual manusia yang kehilangan keseimbangan antara iman dan rasionalitas. Di tengah derasnya arus modernisasi, manusia mencari pegangan yang absolut dan ketika agama tidak lagi dipahami sebagai jalan pencerahan, ia berubah menjadi alat pembenaran bagi kekuasaan dan eksklusivitas kelompok.

Sebagaimana dikemukakan oleh mile Durkheim (1912) dalam The Elementary Forms of Religious Life, agama sejatinya adalah cerminan solidaritas sosial. Namun, ketika solidaritas melemah, agama mudah diselewengkan menjadi sumber fanatisme. Sementara itu, Max Weber (1947) menjelaskan bahwa otoritas karismatik sering muncul di masa krisis sosial ketika individu membutuhkan figur yang diyakini membawa solusi spiritual dan emosional.

Kultus: Karisma yang Menjadi Dogma

Secara etimologis, kata cultus berarti "penghormatan" atau "penyembahan." Dalam sosiologi agama, kultus didefinisikan sebagai kelompok keagamaan yang berpusat pada figur kharismatik dengan loyalitas mutlak dari para pengikutnya. Weber menyebutnya sebagai bentuk otoritas karismatik, di mana ketaatan tidak didasarkan pada rasionalitas, melainkan pada keyakinan emosional terhadap "keistimewaan" pemimpin.

Menurut Steven Hassan (2015) dalam Combating Cult Mind Control, kultus bekerja melalui kontrol psikologis: membatasi informasi, menanamkan rasa takut, dan membentuk ketaatan mutlak. Dalam konteks modern, munculnya kultus juga berkaitan dengan krisis makna dan kekecewaan terhadap lembaga agama formal. Pemimpin kultus tampil sebagai sosok penyelamat, menawarkan keajaiban dan kepastian di tengah kebingungan eksistensial.

Ciri khas gerakan kultus antara lain:

1. Pemusatan otoritas pada figur pemimpin.

2. Penolakan terhadap kritik dan rasionalitas.

3. Eksklusivitas sosial dan isolasi dari dunia luar.

4. Manipulasi emosional dan spiritual terhadap anggota.

Kultus dengan demikian bukan hanya penyimpangan teologis, tetapi penyakit sosial akibat kehilangan orientasi spiritual dan intelektual.

Fundamentalisme: Reaksi terhadap Sekularisasi dan Krisis Identitas

Berbeda dengan kultus yang bersifat personal, fundamentalisme muncul sebagai gerakan ideologis kolektif yang menolak pluralitas dan menginginkan kembalinya "kemurnian ajaran."

Istilah ini pertama kali digunakan pada awal abad ke-20 oleh kalangan Protestan Amerika melalui pamflet The Fundamentals sebagai reaksi terhadap modernisme teologis. Dalam perkembangan global, Karen Armstrong (2000) menyebut fundamentalisme sebagai "reaksi spiritual terhadap trauma modernitas." Modernitas, menurut Armstrong, menciptakan alienasi memutus manusia dari makna terdalam kehidupan. Akibatnya, sebagian kelompok beragama memilih menutup diri dalam ideologi tekstual.

Ciri-ciri fundamentalisme mencakup:

1. Penafsiran literal terhadap teks suci.

2. Pandangan dunia hitam-putih

 (benar salah).

3. Penolakan terhadap pluralisme dan modernitas moral.

4. Keinginan menjadikan agama sebagai sistem politik total.

Dalam konteks Islam, fundamentalisme sering muncul sebagai reaksi terhadap ketidakadilan global dan kegagalan politik modern. Namun, tanpa pemahaman kontekstual dan keseimbangan spiritual, perjuangan itu dapat berubah menjadi radikalisme ideologis yang destruktif.

Analisis Kritis: Krisis Makna dan Pencarian Kepastian

Baik kultus maupun fundamentalisme muncul dari rasa kehilangan makna dalam kehidupan modern. Peter L. Berger (1990) menyebutnya sebagai "pluralitas makna" manusia modern tidak lagi memiliki satu pandangan dunia yang pasti. Dalam situasi seperti itu, muncul kebutuhan akan kepastian (need for closure) yang dijelaskan oleh Kruglanski & Webster (1996).

Kultus dan fundamentalisme memberi jawaban yang sederhana bagi dunia yang kompleks: mereka menawarkan kepastian dalam bentuk doktrin dan ketaatan total. Namun, kepastian ini semu, karena menghapuskan kebebasan berpikir dan martabat manusia.

Fenomena ini kini diperparah oleh era digital. Zeynep Tufekci (2018) menjelaskan bahwa algoritma media sosial menciptakan echo chambers ruang gema ideologis yang memperkuat pandangan ekstrem. Pemimpin spiritual digital dapat membangun kultus baru melalui retorika emosional dan narasi apokaliptik, sehingga lahirlah kultus digital dan fundamentalisme virtual.

Pendekatan Solutif: Literasi Agama dan Rasionalitas Iman

Untuk menghadapi dua fenomena ini, diperlukan upaya yang integratif:

1. Membangun literasi keagamaan kritis. Menurut Fazlur Rahman (1982), kembali kepada Al-Qur'an berarti memahami makna secara kontekstual, bukan literal semata.

2. Menumbuhkan pendidikan spiritual yang rasional. Iman yang sehat adalah iman yang sadar, bukan iman yang membutakan.

3. Memperkuat dialog lintas iman dan budaya. Dialog membuka ruang bagi penghargaan terhadap perbedaan dan kemanusiaan universal.

4. Membangun etika digital dalam dakwah. Agama harus menjadi sumber pencerahan di ruang maya, bukan alat provokasi ideologis.

Dengan cara ini, agama akan kembali pada fungsi sejatinya: membebaskan, bukan menaklukkan.

Kesimpulan

Kultus dan fundamentalisme adalah dua gejala sosial keagamaan yang berakar pada krisis makna modernitas. Di satu sisi, kultus menandakan penyembahan pada figur; di sisi lain, fundamentalisme menandakan penyembahan pada teks tanpa konteks.

Tugas umat beragama modern adalah menemukan keseimbangan antara iman dan akal, antara ketaatan dan kebebasan berpikir. Sebagaimana diingatkan oleh Al-Ghazali, "iman tanpa akal adalah kelemahan, dan akal tanpa iman adalah kesesatan."

Agama seharusnya menjadi cahaya yang menuntun, bukan api yang membakar.

Daftar Pustaka

Armstrong, K. (2000). The Battle for God: Fundamentalism in Judaism, Christianity and Islam. New York: Ballantine Books.

Berger, P. L. (1990). The Sacred Canopy: Elements of a Sociological Theory of Religion. New York: Anchor Books.

Durkheim, . (1912). The Elementary Forms of Religious Life. Paris: Alcan.

Hassan, S. (2015). Combating Cult Mind Control. Newton: Freedom of Mind Press.

Kruglanski, A. W., & Webster, D. M. (1996). Motivated Closing of the Mind: "Seizing" and "Freezing." Psychological Review, 103(2), 263--283.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Tufekci, Z. (2018). Twitter and Tear Gas: The Power and Fragility of Networked Protest. New Haven: Yale University Press.

Weber, M. (1947). The Theory of Social and Economic Organization. New York: Free Press.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun