Demikian pula, Martin Seligman (1975) dalam teori Learned Helplessness menemukan bahwa sikap pasrah tanpa usaha membuat individu berhenti mencoba memperbaiki hidupnya.
Dengan demikian, tafsir takdir yang keliru berdampak langsung pada penurunan daya juang umat.
Sebaliknya, pemahaman yang benar akan melahirkan mental tangguh: berusaha keras sambil beriman bahwa hasil terbaik tetap milik Allah.
Dimensi Sosial: Takdir dan Tanggung Jawab Umat
Pemikir Muslim modern Malek Bennabi dalam The Conditions of Renaissance (1948) menegaskan bahwa kemunduran umat Islam lahir dari "fatalisme teologis" keyakinan yang membenarkan kemalasan dan menerima kemunduran sebagai nasib. Ia menyeru agar umat mengganti keyakinan pasif dengan iman produktif, iman yang melahirkan tindakan.
Dengan kata lain, beriman kepada takdir bukan berarti menunggu perubahan, melainkan menjadi pelaku perubahan. Takdir adalah ruang ujian untuk menilai sejauh mana manusia menghidupkan imannya melalui amal.
Iman yang Mendorong Aksi
Allah berfirman:
 "Demi jiwa dan penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya, dan sungguh rugilah orang yang mengotorinya."
(QS. Asy-Syams [91]: 7--10)
Ayat ini menegaskan bahwa manusia memiliki pilihan moral. Keberuntungan dan kerugian ditentukan oleh bagaimana seseorang menyikapi potensi dirinya, bukan oleh alasan "sudah takdir."