Perempuan, Pakaian, dan Pertarungan antara Kebebasan dan Kesopanan
Perdebatan tentang cara perempuan berpakaian selalu menjadi isu yang tak pernah usai. Di satu sisi, kita sering melihat perempuan bisa berpenampilan sopan, menutup tubuh dengan rapi. Namun di sisi lain, tidak sedikit pula yang memilih menampilkan lekuk tubuh dan berpenampilan terbuka. Pertanyaan pun muncul: mengapaÂ
Pakaian sebagai Bahasa Sosial
Dalam perspektif sosiologi, pakaian bukan sekadar kain penutup tubuh, tetapi simbol sosial. Melalui pakaian, seseorang mengirim pesan tentang identitas, status, bahkan ideologinya.
Erving Goffman (1959) dalam The Presentation of Self in Everyday Life menekankan bahwa manusia menggunakan penampilan, termasuk pakaian, sebagai bagian dari "panggung sosial" untuk membentuk kesan di hadapan orang lain.
Dengan demikian, perempuan yang memilih berpakaian terbuka seringkali ingin mengekspresikan diri, menunjukkan keberanian, atau sekadar mengikuti tren mode yang dibentuk media dan industri fashion global.
Budaya Populer dan Rasa Percaya Diri
Pengaruh media modern turut melanggengkan standar kecantikan yang identik dengan tubuh ideal dan pakaian terbuka. Naomi Wolf (1991) dalam The Beauty Myth menyatakan bahwa industri kecantikan dan media sering menjadikan tubuh perempuan sebagai objek komodifikasi, yang akhirnya menekan perempuan untuk mengikuti standar tertentu.
Tak bisa dipungkiri, banyak perempuan merasa lebih percaya diri ketika mengikuti standar ini. Bagi mereka, berpakaian terbuka bukan sekadar soal tubuh, tetapi tentang keberanian tampil di ruang publik.
Perspektif Agama dan Moralitas
Dalam Islam, berpakaian sopan dan menutup aurat merupakan perintah moral dan spiritual.
"Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya ..."
(QS. An-Nur [24]: 31)
Hadis Rasulullah SAW juga menekankan:
 "Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu." (HR. Ibnu Majah)
Kebebasan dalam agama tidak sama dengan kebebasan tanpa batas. Justru kebebasan itu ditempatkan dalam bingkai nilai yang menjaga harkat manusia. Maka, menutup aurat bukan sekadar kewajiban, melainkan ekspresi iman dan identitas religius.
Kasus Nyata dan Data Survei
1. Survei Nasional KRPA (Koalisi Ruang Publik Aman)
Dari 32.341 responden yang mengalami pelecehan seksual, mayoritas saat itu justru berpakaian tertutup: rok/celana panjang (17,47%), baju lengan panjang (15,82%), seragam sekolah (14,23%), berhijab (13,20%), bahkan bercadar (0,17%).
Fakta ini membuktikan bahwa pakaian bukan penyebab utama pelecehan seksual.
2. Tren Modest Fashion di Indonesia
Menurut laporan Antara News (2025), gaya busana sopan dengan potongan longgar dan oversize semakin populer, bahkan diproyeksikan menjadi kekuatan Indonesia dalam industri fashion global.
3. Generasi Z dan Fashion Muslim
Studi terbaru menunjukkan bahwa generasi muda Muslim tidak hanya melihat busana sebagai kewajiban agama, tetapi juga bagian dari identitas modern yang stylish sekaligus religius.
4. Diskusi Publik 2025
Psikolog forensik di Indonesia menegaskan: pakaian terbuka bukan pemicu utama kekerasan seksual, melainkan cara pandang masyarakat dan perilaku pelaku. Fokus publik kini mulai bergeser dari menyalahkan korban ke arah pendidikan moral dan kesadaran sosial.Pertemuan Nilai: Kebebasan vs. Kesopanan
Pilihan perempuan dalam berpakaian akhirnya berada di persimpangan antara kebebasan modern dan kesopanan religius.
Bagi sebagian orang, pakaian terbuka adalah simbol modernitas, keberanian, dan ekspresi diri.
Bagi yang lain, pakaian sopan adalah cermin penghormatan pada nilai moral, budaya, dan spiritual.
Di sinilah pentingnya membangun kesadaran bersama: menghargai kebebasan perempuan dalam berekspresi, namun juga tidak menafikan nilai kesopanan yang hidup dalam budaya dan agama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI