Mohon tunggu...
Ali Mushthofa
Ali Mushthofa Mohon Tunggu... -

mencoba bangkit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Janda Bermata Biru dan Pemuda Pemerah Susu

29 Juli 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:53 821
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seorang wanita tampak terduduk sendu di kantor polisi sektor Tebet. Keterangannya sangat dibutuhkan terkait kebakaran yang menimpa rumahnya di komplek Adyaksa di kawasan Tebet Barat. Satu-satunya korban adalah seorang pemuda tanggung yang tewas mengenaskan justru bukan karena terpanggang api, tapi karena pendarahan hebat di sekitar tulang sulbinya.
“Bagaimana, nyonya Marla? Sudah bisa menjawab pertanyaan kami?”
“Jangan panggil aku nyonya dong, Pak Pol, apa kek yang lebih mudaan gitu……”
“Oh…. Maaf”
“Okey… Saya usahakan Pak Pol yang ganteng……. Eh….. muka Pak Pol biasa aja ding….”
Polisi yang bertugas mengambil keterangan saksi sesaat jadi gelagapan dan gugup karena dibilang ganteng oleh wanita di hadapannya. Umur wanita ini mungkin sekitar 30-an, bodinya begitu terawat dan putih mulus, parfumnya memenuhi ruangan interogasi dan mengalahkan pengharum ruangan yang tergantung di AC di pojok kanan atas ruangan. Sikapnya wajar dan normal tak ada perasaan gundah atas tewasnya seseorang di rumahnya.
“Okey. Bagaimana kejadiannya, sis Marla?”, tanya polisi sambil mengamati keindahan mata wanita itu, warna matanya biru. Asli atau lensa kontak ya? pikir Pak Pol.
Satu orang polisi penyidik masuk ke dalam ruangan membawa sebuah map. Petugas polisi yang bertugas menginterogasi mengambil map itu dan membuka-buka isi berkas di dalamnya, juga beberapa lembar foto.
Wanita itu pun mulai bercerita.
*
Ada sedikit kesibukan di Jl. Tebet Barat III E No. 67. Beberapa mobil box menaikturunkan barang ke rumah itu. Rupanya ada penghuni baru yang mengisi rumah itu.
Belakangan diketahui bahwa yang menempati rumah kuno bergaya Jongkong itu adalah seorang janda beranak satu. Walaupun rumahnya kuno, tetapi sudah direnovasi interiornya dengan desain yang serba lux dan modern.
Marla Ayudya Pakkalo, si janda beranak satu itu rupanya penuh persiapan menempati rumah barunya. Begitu banyak barang mewah di dalamnya. Rumah sebesar itu hanya ditempati oleh Marla, Veni anak gadisnya yang sedang kuliah semester 4 di Qom, dua orang pembantu, supir dan dua orang satpam yang bertugas bergantian. Tak banyak yang tahu, apakah Marla menjanda karena suaminya meninggal atau karena dicerai atau…… berdasarkan gosip yang beredar, dia simpanan seorang petinggi partai.
Ada satu kebiasaan unik Marla yang membuat bi Ratih pembantunya tak habis pikir. Marla suka minum susu sapi asli yang hanya dijual oleh pedagang susu keliling. Sistem pembayarannya pun tiga hari sekali yang diterima oleh sang pedagang berupa uang dalam amplop tertutup. Mengenai besaran uang dalam amplop, hanya Marla dan pemilik susu sapi yang tahu, bahkan sang pedagang keliling itu pun tak tahu, dia hanya mendapat tugas dari bossnya.
Di suatu pagi yang dingin karena hujan masih saja mengguyur kawasan Tebet Barat, Marla sedang mengotak-atik tabletnya di meja makan yang hanya berisi sepiring nasi goreng dan jus jeruk. Marla asyik membuka beberapa dokumen dan gambar, kadang sesekali membuka beberapa situs.
“Biii……. Susu aku sudah datang belum?”
Marla menyisihkan tabletnya dan diletakkan di kursi di sampingnya. Nasi goreng pete sudah sejak tadi tersaji dan masih mengepul asapnya. Harum sekali. Diraihnya gelas berisi jus jeruk dan diteguk dua kali.
“Sudah, Nyonya!!”, jawab bi Inah dari dapur.
Bibi bergegas ke ruang makan sambil membawa botol ukuran sejengkal berisi susu segar. Ditaruhnya botol itu di sisi gelas berisi air putih. Sigap sekali bibi meletakkan botolnya, tak tumpah dan belepotan. Alas bulat berwarna coklat muda berbahan kertas tebal menjadi tatakan botol itu.
“Amplopnya sudah diberikan?”
Bibi hanya mengangguk sambil memberikan sebuah kartu pos. Kartu pos? di jaman serba internet ini masih ada yang menerima kiriman kartu pos? Rupanya bukan kartu pos biasa. Dicetak secara digital dengan gambar yang dibuat sesuai keinginan pemiliknya. Dan kartu pos itu tak ada tulisan atau coretan tangan si pengirim, semua dicetak digital. Bagian muka berupa gambar tertentu dan bagian belakangnya hanya teks seperti quote dari tokoh terkenal.
Marla hanya tersenyum membaca kartu pos yang dikirim via pedagang susu keliling.
“Tolong minta mang Bawor untuk siapkan mobil aku yang putih ya, bi?”
Bi Inah hanya mengangguk dan mundur tiga langkah lalu meninggalkan Marla di ruang makan. Marla melanjutkan sarapannya sambil mengirimkan pesan singkat ke seseorang. ‘Aku ke Sevel di samping Gereja Bukit Moria’. Seseorang yang menerima pesan itu langsung keluar dari rumah kontrakkannya dan melajukan motornya ke tempat yang disebutkan. Orang itu mengenakan jaket merah favoritnya dan helmnya pun berwarna merah dove.
Pukul 12 siang, sebuah mobil jazz putih masuk ke pelataran parkir Sevel, Marla duduk di depan kemudi dan bi Ratih duduk di sampingnya. Marla melihat seorang lelaki berjaket merah sedang duduk sendiri di sudut sambil memainkan BB-nya.
“Aku tunggu di mobil, bi. Kamu hampiri pemuda berkaos putih bertopi hitam yang duduk di dekat pintu masuk ya”, Marla tetap di mobil sementara bi Ratih keluar dan berjalan menghampiri pemuda berbadan tegap dan hanya memakai t-shirt putih polos dan bercelana jeans biru tua. Cukup ramai orang nongkrong di Sevel, jadi tak menarik perhatian jika bi Ratih langsung duduk di meja pemuda berkaos putih.
Demi melihat seorang gadis menghampirinya, pemuda itu yakin bahwa gadis itu memang yang sedang ditunggunya. Gadis itu mengenakan baju terusan sepanjang lutut berwarna ungu muda, memakai gelang merah dan menyandang tas kecil warna merah tua.
“Hey…… Marla ya? Aku Bram. Ingin kupesankan sesuatu?”, pemuda itu menyodorkan tangannya dan disambut hangat oleh bi Ratih. Mereka bersalaman, erat sekali. Genggaman tangan Bram membuat bi Ratih tersipu-sipu.
“Tak usah”, bi Ratih sepertinya kesengsem dengan pemuda di hadapannya.
“Paket yang aku terima dari kalian sejauh ini oke dan baik-baik saja. Tetapi yang terakhir kok agak berbeda ya. Eksternal memori yang kalian kirim kosong, tak ada isinya. Coba kamu cek di tabletku ini”, Bram menyodorkan tablet di tangannya dan bi Ratih langsung memeriksanya.
“Padahal data yang terakhir sangat penting. Berisi file instruksi final, data keuangan dan daftar orang-orang yang terlibat di peternakan sapi milik boss kamu”, bi Ratih menjawab cukup lancar karena sudah dilatih oleh Marla.
“Hmmm…… amplop yang terakhir itu berwarna putih keluaran Jaya kan?”, tanya Bram menyelidik sambil menyerahkan amplopnya.
Bi Ratih memperhatikan amplop tersebut.
“Ini bukan amplop dari kami”, bi Raih melempar amplop yang sudah koyak bagian atasnya itu ke atas meja.
“Bagaimana bisa?”, Bram terhenyak kaget dan heran. Diambilnya lagi amplop itu dan diamat-amati.
“Coba lihat bagian belakang amplop, di sudut kanan bawah. Ada setitik tanda merah yang aku sematkan di situ. Kalau tak ada bukan dari kami”, kata bi Ratih sambil mengirim pesan singkat ke Marla.
Pemuda itu mengamati amplop putih yang tak ada tanda yang dimaksudkan oleh bi Ratih. Pemuda itupun mengirimkan pesan singkat ke seseorang.
Begitu menerima pesan dari bi Ratih, Marla mengirim pesan ke pemuda berjaket merah. Sejurus kemudian pemuda itupun meninggalkan Sevel dan menuju ke parkir lalu melarikan motornya dengan kencang.
“Kami sudah mulai curiga ke Mamat kurir kalian itu. Makanya paket terakhir kami kasih data palsu. Dan si Mamat sepertinya terlalu banyak omong, dia pernah bilang kalau bossnya juga suka memerah susu langsung di kandang sapi. Apa betul?”, bi Ratih bertanya malu-malu.
“Ya, betul itu. Saya memang kadang suka memerah susu juga. Si Mamat yang ngajarin. Enak dan nikmat juga rupanya memerah susu sapi, ya?”, Bram melirik genit ke bi Ratih.
Pesan dari Marla masuk. ‘Kalau dia ngajak pergi, ikut aja’. Bi Ratih tersenyum ke Bram.
“Okey, bagaimana kalau kita akhiri bisnis ini? Mau ikut aku ke kandang sapi?”
“Hiii…… takut ah… jijik….. Tapiiii…. Penasaran juga sih. Bolehlah….”
Bram dan Ratih pun meninggalkan Sevel sementara Marla sudah lebih dahulu pergi entah kemana.
Begitulah, bi Ratih dan Bram semakin akrab dan melanjutkan peran Marla untuk urusan bisnis dan kunjungan ke kandang sapi. Marla kini banyak disibukkan oleh urusan yang lebih besar di level yang lebih tinggi. Dan agar lebih meyakinkan, bi Ratih pun dibuat bermata biru pula, mirip Marla si janda bermata biru.
Di pagi berikutnya, Mamat seperti biasa mengantar susu pesanan Marla. Yang menerima pagi itu ternyata bi Ratih. Wanita yang selalu mengajaknya ke kamar belakang jika kondisi sedang sepi. Entahlah, si Mamat itu beruntung atau sial, karena sesudah dari kamar belakang, ia kelihatan begitu kuyu kehabisan tenaga.
“Bi Inah kemana non? Kok ngga kelihatan? Dan mobil nyonya tak ada semua. Pergi ya?”
“Sakit, kang. Dan bi Inah minta ditengokin tuh. Kamarnya di paviliun belakang”, singkat saja bi Ratih menjawab.
“Saya diminta ke kamar bi Inah, non?”
“Iya”
Mamat pun memasukkan motornya masuk ke halaman dan berdua menuju kamar belakang. Agak was-was juga si Mamat.
Tok tok tok.
“Masuk saja, Mat”, jawaban dari bi Inah sepertinya.
Begitu Mamat masuk, dia disergap oleh lelaki berjaket merah. Mamat dipukul habis-habisan, Lelaki berjaket merah itu begitu sigap dan pandai kungfu rupanya, suatu hal yang tak disangka oleh Mamat. Dan saat badannya mulai melemah, Mamat pun terkulai di lantai. Seluruh pakaian Mamat dilucuti dan lelaki berjaket merah itu menghampiri sambil menggenggam pisau bedah.
“Rasakan ini….. dasar pengkhianat dan playboy kelas teri!!!”
Mamat menjerit kesakitan saat burungnya dipotong habis oleh lelaki itu. Bi Inah langsung keluar kamar ketakutan.
Di saat yang bersamaan, bi Ratih keluar rumah sambil menjerit-jerit.
“Kebakaran…… kebakaran…….”
*
Pak Danu, polisi yang menginterogasi wanita muda di hadapannya menyodorkan sebuah foto.
“Kalau anda sis Marla, lalu siapa wanita di foto ini?”, wanita itu kaget setelah diperlihat sebuah foto seorang wanita yang sedang ditangkap di bandara Soetta. Itu Marla yang hendak kabur ke Ankara.
Polisi itu melempar beberapa lembar foto. Gambar dirinya dan Bram sedang bercinta di kandang sapi.
“Anda kami tahan. Tuduhan sementara adalah konspirasi pembunuhan terencana dan terlibat korupsi yang dilakukan Marla dan seorang boss besar”
Bi Ratih duduk terkulai lemah. Petualangannya bersama Bram si pemerah susu berakhir sudah.
“Dan kami pun tahu siapa anda sebenarnya sebelum menjadi bi Ratih”
Pak Polisi melemparkan sebuah foto lagi.
“Hah...!!!”
Kali ini bi Ratih tak bisa lagi berkutik. Rupanya Kepolisian Negara Republik Indonesia kini tak bisa lagi dianggap enteng. Sepak terjang kepolisian rupanya melampaui dugaan bi Ratih dan komplotannya.
“Sebelum operasi, nama kamu Ratno kan?”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun