Adapun Abu Bakar As-Syibli (946 M.) berpendapat "Secara lahiriah musik adalah fitnah. Dan secara batiniah adalah ibrah (pemberi pelajaran)." Musik dianggap fitnah menurut As-Syibli karena kebanyak memandang secara fisik atau dzohir yang potensial salah dalam memaknainya. Alasannya, dengan mendengar nyanyian indah, diiringi alunan musik dianggap tidak etis dalam perspektif syari'at. Walupun didalamnya terdapat hal yang esensial, memberikan pelajaran serta mengantarkan kerinduan akan Tuhan.
Namun, dari stetmen para sufi tersebut ada yang menarik dan unik salah satunya Ibrahim Al-Khawas (904 M.) Ia ditanya, bagaimana mungkin para sufi bisa lebih khusu, tergugah, dan ekstase mendengarkan pembacaan syair-syair, musik-musik dan suara-suara selain Al Qur'an?. Menurutnya "mendengarkan Al Qur'an dapat menimbulkan goncangan yang maha dahsyat di dalam hati, maka teramat sulit tubuh akan tergerak, berbeda dengan mendengar alunan-alunan, lagu atau musik yang datap menghibur hati sehingga tubuh akan terayun-ayun oleh nya."
Namun yang memiliki pengaruh eksplisit dan progresif serta masyhur, dalam kajian sufi tentang musik ialah Maulana Jalaluddin Rumi (1207 M-1273 M.) Puisi-puisi, syair-syair Rumi banyak di kenal oleh umat beragama, selain mashur dalam agama Islam, Rumi sendiri akrab dalam orientalime yang ingin memahami apa yang di maksud dalam syair-syairnya. Salah satu syair yang dapat menggugah jiwa adalah :
“Kisah Lagu Seruling”
Dengan alunan pilu seruling bambu
Sayu sendu lagunya menusuk kalbu
Sejak ia bercerai dari batang pokok rimbun
Sesaklah hatinya dipenuhi cinta dan kepiluan
Walau dekat tempatnya laguku ini
Tak seorang tahu serta mau mendengar
O kurindu kawan yang mengerti perumpamaan ini