Mohon tunggu...
alghazi_ SHS
alghazi_ SHS Mohon Tunggu... pekerjaan saya admin dan saya sedang kuliah

saya suka sekali belajar dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merasa Tahu Padahal Belum Faham Termasuk Sesat Logika

10 September 2025   16:28 Diperbarui: 10 September 2025   16:28 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input Keterangan & Sumber Gambar Illuson Of knowing (Sumber:Kredit Foto))

Ilusi pengetahuan adalah keyakinan bahwa pemahaman telah tercapai, padahal sebenarnya pemahaman itu gagal. Dalam percobaan ini, ilusi didefinisikan secara operasional sebagai kondisi ketika pembaca yang gagal menemukan kontradiksi dalam sebuah teks justru menilai pemahaman mereka terhadap teks tersebut sebagai tinggi. singkatnya kita meyakini bahwa kita sudah memahami terhadap sesuatu padahal faktanya kita belum paham terhadap sesuatu tersebut hanya perasaan kita yang sudah paham itulah yang disebut sebagai ilusi pengetahuan atau Illusion Of Knowing. Ilusi mengetahui pertama kali diteliti oleh Glenberg, Wilkinson, dan Epstein (1982). Mereka menemukan bahwa orang sering merasa sudah paham sesuatu, padahal sebenarnya belum. Fenomena ini bisa terjadi saat belajar teks, ketika orang terlalu yakin bahwa mereka sudah menguasai informasi. Hal yang sama juga muncul saat menghafal pasangan kata, di mana orang sering melebih-lebihkan kemampuan mereka untuk mengingatnya nanti. Biasanya, ilusi ini muncul tepat setelah belajar, karena informasi masih tersimpan di memori kerja.

Menurut para ahli, ilusi mengetahui dipahami sebagai kondisi ketika seseorang memiliki keyakinan diri yang berlebihan terhadap pemahaman, pengetahuan, maupun kemampuan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kenyataan. Fenomena ini muncul, misalnya, ketika individu merasa bahwa ia telah memahami suatu informasi padahal sesungguhnya pemahamannya keliru atau tidak lengkap. Ilusi mengetahui juga dapat muncul dalam konteks penyelesaian tugas, di mana seseorang menilai kinerjanya benar atau optimal, padahal hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, bentuk lain dari ilusi mengetahui adalah kepercayaan berlebihan terhadap kemampuan untuk mengingat informasi yang pada kenyataannya tidak dapat diingat kembali. Dengan demikian, ilusi mengetahui bukan hanya sekadar kesalahan dalam menilai tingkat pengetahuan, tetapi juga mencerminkan adanya perbedaan antara persepsi subjektif individu tentang apa yang ia ketahui dengan pengetahuan objektif yang sebenarnya dimiliki.

Ilusi mengetahui ini biasanya didahului oleh beberapa bentuk ilusi lain, seperti ilusi kompetensi, ilusi mengingat, ilusi familiaritas, dan ilusi pemahaman. Penyebab paling umum dari berbagai ilusi tersebut adalah kalibrasi yang tidak akurat, yaitu ketidakmampuan seseorang untuk menilai secara tepat sejauh mana mereka benar-benar memahami atau menguasai informasi. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa hampir mustahil menghindari ilusi-ilusi ini karena orang sering kali tidak menyadarinya dan justru terus meyakinkan diri bahwa keputusan atau pemahaman mereka sudah benar. Sejalan dengan istilah 'ilusi mengetahui', para peneliti juga menggunakan istilah lain seperti optimisme kognitif, kepercayaan diri berlebihan, atau kepercayaan diri subjektif terhadap pengetahuan diri. Namun, ketidak konsistenan penggunaan istilah-istilah ini membuat perbandingan hasil penelitian menjadi lebih rumit.

Menurut Metcalfe (1998), dasar dari ilusi mengetahui, atau yang disebut juga 'optimisme kognitif', adalah bentuk penipuan diri yang tampak seolah-olah dapat mengoptimalkan berbagai aktivitas belajar. Seseorang bisa saja menyadari bahwa jawabannya salah, namun tetap meyakinkan dirinya dengan alasan-alasan yang bertentangan. Keyakinan tersebut muncul karena mereka memiliki kemampuan kognitif yang tinggi dalam mengingat informasi, sehingga merasa yakin bahwa pemahamannya benar. Sejumlah peneliti juga menjelaskan bahwa ilusi mengetahui dipengaruhi oleh dua faktor utama: kegagalan dalam mengenali adanya kontradiksi dan kecenderungan untuk melebih-lebihkan tingkat pemahaman. Kedua konsep ini masih sangat diperdebatkan, dan sulit ditentukan apakah salah satunya bisa menjadi penyebab tunggal dari keyakinan subjektif yang keliru. Bahkan, ada pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun seseorang berhasil menemukan kontradiksi, hal tersebut tidak menjamin bahwa ia terbebas dari ilusi mengetahui.

Ilusi pengetahuan sesungguhnya lebih berbahaya daripada ketidaktahuan. Saat kita sadar bahwa kita tidak tahu, kita masih punya peluang untuk belajar, mencari tahu, atau bertanya pada ahlinya. Bahkan Plato pernah mengatakan, orang yang menyadari dirinya tidak tahu apa-apa justru adalah orang yang paling bijaksana. Namun, ketika kita terjebak dalam ilusi pengetahuan, keadaan menjadi jauh lebih rumit. Kita merasa sudah tahu segalanya, merasa paling benar, dan menolak pandangan orang lain. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kita tidak tahu apa-apa---kita hanya bermain dalam keyakinan palsu yang kita kira sebagai pengetahuan. Inilah bahaya terbesarnya: ilusi pengetahuan menutup pintu belajar, membatasi kemampuan kita untuk menerima kebenaran baru, dan menjadikan kita terkungkung dalam kebodohan yang terselubung. Ia bukan sekadar kesalahan kecil, melainkan jebakan yang membuat seseorang berhenti tumbuh, berhenti mengasah akal, dan terjebak dalam keyakinan palsu yang menyesatkan.

Ilusi pengetahuan bisa menjadi hambatan besar dalam proses belajar. Ia membuat kita sulit untuk merefleksikan sejauh mana pemahaman kita sendiri, dan mencegah kita membedakan mana yang benar-benar kita ketahui dan mana yang sebenarnya tidak. Dalam konteks media, ilusi ini sering melahirkan sikap pasif: seseorang merasa sudah memahami suatu isu, lalu berhenti mencari informasi baru yang sebenarnya bisa mendorong mereka untuk bertindak. Lebih jauh lagi, bias ini dapat memperkuat sikap politik yang kaku atau bahkan ekstrem, karena orang meyakini kebenaran versi mereka tanpa membuka diri pada sudut pandang lain.

Bahaya terbesar dari ilusi pengetahuan adalah ia menutup pintu belajar. Kita merasa sudah cukup tahu, sehingga tidak terdorong lagi untuk bertanya, membaca lebih dalam, atau memeriksa kebenaran informasi. Akibatnya, kita bisa terjebak dalam keyakinan palsu yang menghambat perkembangan diri maupun pemahaman kolektif.

Untuk menghindari jebakan ini, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan. Pertama, biasakan sikap rendah hati intelektual---mengakui bahwa pengetahuan kita terbatas dan selalu terbuka untuk diperbarui. Kedua, latih diri untuk melakukan refleksi kritis: tanyakan pada diri sendiri, 'Apakah saya benar-benar tahu, atau hanya merasa tahu?' Ketiga, aktiflah mencari sudut pandang yang berbeda, baik melalui diskusi maupun literatur, agar kita tidak terperangkap dalam lingkaran informasi yang sempit. Dengan cara ini, ilusi pengetahuan bisa diubah menjadi peluang untuk terus belajar, bertumbuh, dan lebih bijaksana dalam menilai dunia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun