Mohon tunggu...
Lana Ancala
Lana Ancala Mohon Tunggu... Freelancer - Berjalan | Bercerita | Berbagi

Seorang pembual yang gemar menyulap derita menjadi cerita. Tadinya sih mau jadi playboy, tapi ternyata masih kurang ganteng dan tajir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Lhia dan Senja

9 September 2019   20:31 Diperbarui: 10 September 2019   01:48 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi menutupi kesedihan. (sumber: pixabay)

Hari menjelang malam, Lhia masih duduk di bangku depan kedai kopi pojokan kota itu, sambil ditemani secangkir kopi Aceh Gayo dan mendengarkan lagu dari salah satu band indie "Dialog Senja" perlahan dia mengikuti liriknya:

"Menghapus tinta yang pernah kau lukis
Di kanvas hatiku
Merobek semua bayangan yang tampak
Di relung sukma ku"

Sementara matanya memandang lekat tembok gedung-gedung tinggi yang mulai luntur warnanya, sesekali Lhia melemparkan pandang ke langit melihat matahari yang perlahan meninggalkan kota Jogja sambil menghitung sisa butir waktu siang yang sebentar lagi akan hilang.

Lhia selalu menghabiskan waktunya ditempat itu kala senja tiba. Yah, hanya untuk sekedar melepas kepenatan dari rutinitas melelahkan, kadang juga menjadi tempat Lhia menulis dan berfikir keras persoalan yang belum terselesaikan. 

Terlihat Lhia masih bungkam, rupanya rasa gelisah dan bingung masih mengeliat dalam pikirannya.

Lhia heran, kenapa saat ini semua pada haus akan prestasi pendidikan, terlebih pada orang tua yang sibuk menguliahkan anak-anaknya ditempat mahal hanya untuk mencari status sosialnya. 

Padahal sepengetahuannya, keberhasilan pendidikan ialah dapat menuntut ilmu untuk meraih cahaya kebenaran sehingga memiliki moral etika baik yang melekat dalam diri, bukan siapa yang lebih memiliki prestasi banyak dan kuliah ditempat yang mahal.

"Jika seperti itu, kita telah masuk dalam jebakan dunia dan memelihara sifat kebinatangan kita?"

"Dan bukankah itu akan membawa kita pada kerakusan yang nyata?"

Lhia penuh tanya.

Lhia teringat akan nasihat Rumi "Bahwa siapa yang memelihara  jiwa kebinatangan akan menjadi bebek yang melambangkan kerakusan, paruhnya selalu ditanah, mengeruk apa saja yang terbenam, entah basa atau kering, tenggoraannya tidak pernah santai satu saatpun". 

Ia tak pernah mendengar firman Tuhan selain, "makan dan minumlah seperti penjarah merangsek rumah dan memenuhi kantongnya dengan cepat, ia masukan kedalam kantongnya baik atau buruk, permata atau kacang tiada bedanya". 

Sungguh disayangkan, kalau sampai kita semua hidup dalam kepoyangan! Lhia masih berpikir panjang, dia masih berpikir keras mengenai persoalan itu. Perlahan satu persatu pertanyaan mulai menghujani pikiran Lhia.

Jika pendidikan kita rumus untuk merefitalisasi moralitas para para pembelajar, kenapa moralitas para pembelajar mengalami degradasi? Kenapa para guru hanya mengejar kemampuan siswa dan menyepelehkan kecintaan siswa terhadap ilmu pengetahuan?

Mengapa bangku pendidikan kadang gagal mengantarkan manusia pada sifat humanisnya?  Kenapa semakin banyak gelar seseorang semakin membuat dia hidup dalam kepoyangan dan tunduk pada dunia?

Juga disekolah, mengapa seseorang anak banyak di sogokkan dengan materi atau kongnitif ketimbang berapa keteramilan lain seperti Afektif, Prikomotor, dan Spritual?

Bukankah yang dilakukan itu menjurus pada khancuran moral dan martabat bangsa?

Padahal dulu Einstein pernah berpesan bahwa "Agama tanpa ilmu pengetahuan adalah pincang, sedang ilmu pengetahuan tanpa agama adalah buta". 

Jika demikian, tentu tidak menjadi ukuran keberhasilan pendidikan hanya mengandalkan pada prestasi pendidikan yang diraih, kecerdasan pikiran, atau berkuliah ditempat yang mahal sekalipun.

"Keberhasilan pendidikan yang hakiki itu ketika seorang manusia belajar memahami apa yang benar dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari"

Lhia berusaha menjawab berbagai pertanyaan yang menghujani pikirannya itu. Lhia sangat tertarik dengan wasiat yang disampaikan "Ibnu Maskawai" bahwa manusia yang paling sempurna kemanusiaannya ialah manusia yang paling benar aktifitas berpikir dan ikhtiarnya, manusia yang paling mampu mewujudkan pria ku, yang membedakan diri dengan binatang.

Lhia ingin pendidikan yang mampu mengeluarkan manusia dari sifat kebinatangan. 

Dia ingin menuntut ilmu adalah yang betul-betul membangunkan nilai baik dalam diri kita agar bisa membawa pada cahaya kebenaran abadi, seperti ucapan sang guru "Imam Syafi'I" Ilmu adalah cahaya, dan cahaya ini tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat".

Lhia bangkit dari tempat duduk dan mulai berjalan meninggalkan kedai kopi itu menuju masjid setelah matahari sudah sepenuhnya terbenam meninggalkan senja dan seruan sholat maghrib telah di kumandangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun