Jangan Jadikan "Kurikulum Merdeka" Sebagai Tameng untuk Meluluskan Siswa yang Merusak Dunia Pendidikan!
Cukup sudah.
Cukup sudah kita menyembunyikan kegagalan di balik jargon "pendidikan ramah anak", "kurikulum merdeka", dan "semua anak layak naik kelas". Cukup sudah kita membiarkan siswa yang tidak hanya membangkang, tapi berani mengajak duel gurunya di halaman sekolah, tetap diluluskan seolah tak terjadi apa-apa, hanya karena takut dianggap "tidak humanis" atau "melanggar hak anak".
Ini bukan soal kejam atau tidak kejam. Ini soal tanggung jawab moral.
Ketika seorang siswa, yang seharusnya belajar sopan santun, disiplin, dan rasa hormat, malah menghina guru, menantang otoritas, merusak fasilitas sekolah, bahkan mengancam keselamatan orang lain, lalu tetap dinaikkan kelas dan diluluskan tanpa konsekuensi nyata, maka kita bukan sedang melindungi anak. Kita sedang menghancurkan masa depannya dan meracuni sistem pendidikan itu sendiri.
Kurikulum Merdeka bukan berarti bebas dari akuntabilitas!
Merdeka bukan berarti tanpa batas. Merdeka bukan berarti guru harus diam saat dihina, kepala sekolah harus pura-pura buta saat aturan dilanggar, dan wali kelas harus rela menandatangani rapor penuh kebohongan demi "menjaga nama baik sekolah".
Justru di sinilah ujian sesungguhnya dari Kurikulum Merdeka:
Apakah kita berani mendidik dengan prinsip, atau hanya pandai berkata indah sambil menutup mata pada kebobrokan?
Bayangkan: seorang siswa yang tak pernah belajar, tak pernah hadir, tak pernah menghargai guru, bahkan pernah mengancam akan "balas dendam" karena ditegur lalu lulus SMA dengan ijazah resmi. Lalu ia masuk perguruan tinggi. Lalu ia jadi pegawai. Lalu ia jadi pemimpin.
Dan kita semua bertanya: "Dari mana asal orang seperti ini?"
Jawabannya ada di ruang guru yang diam. Di rapat sekolah yang memilih "damai" daripada tegas. Di tanda tangan kepala sekolah yang lebih takut pada protes orang tua daripada pada dosa moral meluluskan anak yang belum layak.
Lebih baik tahan kelas. Lebih baik kembalikan ke orang tua. Lebih baik beri konsekuensi nyata, daripada menciptakan generasi yang percaya bahwa aturan adalah lelucon dan rasa hormat adalah kelemahan.