MBG untuk Siswa Sehat vs Ibu Hamil: Mana yang Lebih Mendesak?
Secara prinsip, MBG seharusnya tidak ditujukan untuk "siswa yang sudah sehat", melainkan untuk anak-anak yang rentan gizi buruk, terutama di daerah miskin atau terpencil. Memberi makan gratis kepada semua siswa, termasuk yang berasal dari keluarga mampu, memang terdengar adil secara simbolis, tapi tidak efisien secara kebijakan. Ini disebut universalism yang boros, sementara pendekatan yang lebih tepat adalah targeted intervention: bantuan tepat sasaran.
Namun, justru kelompok yang paling strategis untuk dilindungi sejak dini adalah ibu hamil dan anak usia 0-2 tahun, masa first 1000 days of life. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kementerian Kesehatan RI, intervensi gizi pada masa ini menentukan kualitas otak, pertumbuhan fisik, dan ketahanan penyakit seumur hidup. Jika seorang bayi lahir stunting karena ibunya kekurangan gizi selama kehamilan, maka kerusakan itu sulit dipulihkan sepenuhnya, meski ia mendapat makanan bergizi di sekolah 6 tahun kemudian.
Dengan kata lain: Â Mencegah stunting di kandungan jauh lebih efektif daripada memperbaikinya di bangku SD.
Data BPS 2024 menunjukkan angka stunting nasional masih sekitar 21,6%-masih di atas target 14% pada 2024. Artinya, prioritas seharusnya dimulai dari hulu, bukan hilir. Memberi makan ibu hamil dan balita tidak hanya menyelamatkan satu nyawa, tapi juga membangun fondasi generasi emas yang sehat, cerdas, dan produktif.
Jadi, secara kebijakan:
MBG untuk ibu hamil dan balita lebih mendesak daripada untuk semua siswa sekolah---apalagi jika termasuk yang sudah tercukupi gizinya.
Bisakah Pemerintah Mengubah Kebijakannya?
Jawabannya: bisa dan seharusnya segera.
Pemerintahan Prabowo-Gibran masih berada di tahun pertama. Ini adalah masa emas untuk evaluasi dan koreksi arah. Faktanya, desakan untuk perubahan sudah mengalir dari berbagai pihak: Pertama, Komisi IX DPR menyarankan fokus pada intervensi gizi dini.
Kedua, Akademisi kesehatan masyarakat (seperti dari UI, UGM, dan Unair) menekankan pentingnya first 1000 days.
Ketiga, Lembaga internasional seperti UNICEF dan WHO juga mendorong realokasi anggaran ke ibu hamil dan balita.
Keempat, Bahkan masyarakat sipil mulai mempertanyakan: mengapa anggaran triliunan rupiah justru digunakan untuk program yang berisiko tinggi (keracunan massal), sementara posyandu dan layanan kesehatan ibu masih kekurangan dana?