Doa yang Tak Jemu, Doa yang Berbuah: Rosario sebagai Tanggapan Iman atas Dunia yang Terluka
Di tengah Bulan Rosario ini, bulan di mana Gereja mengajak umat untuk merenungkan misteri-misteri hidup Kristus melalui doa rosario setiap hari, Injil hari Minggu Biasa ke-29 ini mengingatkan kita pada satu hal mendasar: doa bukanlah ritual kosong, melainkan napas iman yang hidup dan peka.
Yesus menceritakan perumpamaan tentang seorang janda yang gigih meminta keadilan. Ia tidak berhenti, meski dihadapkan pada hakim yang acuh tak acuh. Dan justru karena keteguhannya, permohonannya dikabulkan.
Yesus tidak memuji janda itu karena banyaknya kata-kata doanya, tetapi karena ketekunannya yang lahir dari kerinduan akan keadilan. Di sinilah kita diajak merefleksikan doa rosario kita selama bulan ini: bukan sekadar menghitung butiran manik, tetapi menghadirkan hati yang peka, yang ikut merasakan penderitaan sesama dan mendesak Allah dengan kerinduan akan keadilan, damai, dan belas kasih.
Rosario, dalam tradisinya yang paling otentik, bukan doa yang menjauhkan kita dari dunia, melainkan doa yang membawa dunia ke dalam pelukan Bunda Maria, dan melalui dia, kepada Kristus. Setiap "Salam Maria" yang kita ucapkan seharusnya menjadi napas doa bagi para korban ketidakadilan, bagi para pengungsi yang kehilangan rumah, bagi para pekerja yang dieksploitasi, bagi keluarga yang terpecah, dan bagi Gereja yang terus dipanggil menjadi garam dan terang.
Santo Paulus mengingatkan Timotius: "Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya..." (2 Tim 4:2). Ini adalah seruan untuk doa yang bertanggung jawab, doa yang tidak hanya meminta, tetapi juga siap bertindak. Seperti Musa yang mengangkat tangan dalam doa sementara Yosua berperang (Kel 17), doa rosario kita harus berjalan seiring dengan komitmen nyata untuk memperjuangkan kebaikan, kebenaran, dan keadilan di sekitar kita.
Di zaman yang penuh kebisingan ini, di mana banyak orang lebih suka mengeluh di media sosial daripada berdoa dengan tulus, umat Katolik diajak menjadi komunitas doa yang berbuah: doa yang menggerakkan tangan untuk menolong, mulut untuk bersaksi, dan hati untuk tetap lembut di tengah kerasnya dunia.

Maka, di Bulan Rosario ini, marilah kita berdoa bukan hanya dengan bibir, tetapi dengan seluruh hidup kita. Biarlah setiap "Ave Maria" menjadi seruan bagi perdamaian, setiap "Kemuliaan" menjadi pengakuan bahwa Allahlah sumber keadilan, dan setiap perenungan misteri sengsara menjadi undangan untuk berdiri di sisi mereka yang menderita.
Sebab, seperti kata Yesus, Allah pasti akan membenarkan orang-orang pilihan-Nya yang berseru siang malam. Pertanyaannya bukan apakah Allah mendengar, tapi apakah doa kita cukup hidup untuk menggerakkan belas kasih-Nya dalam diri kita sendiri?
