Kurikulum Merdeka yang Memerdekakan Murid untuk Merendahkan Gurunya?
Sebuah Ironi di Negeri Sejuta Rumah Doa
Indonesia, negeri yang disebut "sejuta rumah doa", adalah tanah tempat lonceng gereja, azan masjid, dan kidung vihara bergema bersama dalam harmoni. Di tengah keberagaman itu, Gereja Katolik (sebagai bagian dari tubuh Kristus yang universal) terus berusaha menjadi garam dan terang dunia, termasuk dalam dunia pendidikan.
Namun, di tengah semangat pembaruan melalui Kurikulum Merdeka, muncul kekhawatiran mendalam: apakah "kemerdekaan" yang ditawarkan justru melahirkan generasi yang kehilangan rasa hormat, bahkan berani merendahkan guru, figur yang dalam tradisi iman Katolik disebut sebagai pewarta kebenaran dan pelayan pembentukan hati nurani?
Kemerdekaan dalam Terang Iman Katolik
Dalam ajaran Gereja Katolik, kebebasan (libertas) bukanlah kebebasan untuk berbuat semaunya, melainkan kebebasan untuk memilih yang baik, benar, dan indah, yang dalam bahasa Santo Thomas Aquinas disebut libertas a necessitate, kebebasan dari paksaan, namun terarah pada kebaikan tertinggi: Allah.
Dokumen Gaudium et Spes (Sukacita dan Harapan), Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini, menegaskan bahwa:
"Kebebasan manusia adalah tanda citra Allah dalam dirinya... namun kebebasan itu harus diarahkan pada kebenaran dan kebaikan, sebab tanpa itu, ia menjadi sumber kekacauan dan dosa."Â (GS 17)
Dengan demikian, Kurikulum Merdeka, jika dipahami secara utuh, seharusnya membebaskan siswa dari belenggu ketidaktahuan, ketakutan, dan ketergantungan buta, bukan membebaskan mereka dari disiplin, tanggung jawab, dan rasa hormat kepada otoritas yang sah.
Namun, kenyataannya sering berbeda.
Ketika "Murid Berpusat" Menjadi "Murid sebagai Raja"
Salah satu prinsip Kurikulum Merdeka adalah student-centered learning, pembelajaran yang berpusat pada murid. Dalam niat baik, ini berarti menghargai martabat pribadi setiap anak, sesuai dengan ajaran Gereja bahwa setiap manusia adalah citra Allah (imago Dei), yang layak dihormati sejak dalam kandungan hingga akhir hayat (lih. Evangelium Vitae, Yohanes Paulus II).
Namun, ketika prinsip ini dihilangkan dari konteks relasional dan moral, ia berubah menjadi individualisme ekstrem: